16 Mar 2012

PETUALANGAN TUJUH HARI

Beberapa hari lalu Daerah Istimewa Yogyakarta kedatangan tamu lagi, kali ini perhelatan bursa buku dan busana muslim. Acara pameran tersebut dipersembahkan kepada masyarakat Jogjakarta oleh Giant Promosindo. Pameran yang bernama Jogja Muslim Fair merupakan pameran rutin yang diadakan setiap 3-5 bulan sekali. Selain di Jogja, JMF kerap digelar di Solo dan Kebumen, Jawa Tengah.
Jauh hari sebelum pameran tersebut dimulai, salah seorang dari penyelenggara menelpon saya untuk berpartisipasi menyukseskan acara tersebut. Setelah melalui diskusi singkat, saya menyepakati untuk bergabung dalam kepanitiaan.
Ada hal luar biasa yang saya dapatkan selama tujuh hari dalam kepanitiaan. Suasana yang jarang saya temukan dalam kehidupan organisasi. Suasana luar biasa tersebut saya temukan pada pemain “belakang layar” acara yang diadakan di Gedung Wanita Tama tersebut.
Yang pertama tentang profesionalisme. Tidak disangka sebelumnya, bahwa pameran yang begitu terkenal dan besar itu hanya digerakkan oleh orang-orang yang bisa dihitung dengan jari. Mereka memainkan perannya di masing-masing bagian. Mereka sedikit, namun bekerja totalitas dan professional.
Yang kedua adalah pola koordinasi dan komunikasi. Tidak ada jaim, segan, atapun malu yang saya temui dalam komunikasi tiap EO. mereka berbincang dengan renyah, jujur dan penuh persaudaraan. Mereka bercanda, bergurau dan tidak jarang tertawa lepas di tengah kesibukan, meskipun kadang Nampak serius untuk hal-hal yang memang harus diperbincangkan dengan serius. keterbukaan itulah yang menjadikan mereka terus bertahan dalam suasana sulit. Mereka menghancurkan suasana kaku dengan hangat persaudaraan. Dari komuikasi yang jujur dan terbuka itu mereka merajut dan memaksimalkan kinerja.
Tidak semua organisasi merasakan suasana seperti itu, dalam organisasi da’wah sekalipun. Tidak jarang kita temui person-person yang Nampak jaim, senioritas dan bahkan bertingkah sok hebat di hadapan kader lain. Mereka tidak mau kalah dan disalahkan. Mereka tidak mau harga dirinya merasa direndahkan. Akibatnya, komunikasi terasa sangat kaku dan penuh dengan kebohongan.
Komunikasi hanya sekedar formalitas dan berbicara seputar job description-nya saja. Itupun dilakukan dengan penuh “pengamanan”. Harus merasa aman dari direndahkan, dianggap sebelah mata dan lainnya. Terasa kaku, sangat kaku dan bahkan lebih ektrimnya sampai tidak mau berkomunikasi karena takut.
Komunikasi yang tidak sehat tersebut tentu saja akan mempengaruhi kinerja dan menghambat laju organisasi. Jika hal itu menjangkiti semua kader, yakni kader tidak merasa nyaman bahkan tidak mau berkomunikasi dengan kader lain tentu saja akan berakibat buruk bagi organisasi. Semisal miss komunikasi, kebingungan dan akan berujung pada kader yang merasa sendiri meskipun sedang bekerja dalam amal jamai.
Dalam petualang tujuh hari tersebut, saya mendapat ilmu baru tentang komunikasi dan koordinasi. Ternyata dua hal itu merupakan sesuatu yang sangat penting untuk laju organisasi. Semoga aktivis-aktivis organisasi bisa memahami pula pentingnya dua hal itu. sehingga organisasi atau da’wah yang dibangun tidak hanya sekedar ikatan kerja yang akan selesai ketika pekerjaan itu terselesaikan. Namun lebih dari itu, dalam setiap proses bekerja kita akan menemukan arti kejujuran, keterbukaan, keceriaan, kepercayaan yang kelak akan kita gunakan dalam kerja-kerja besar berikutnya.  

0 komentar:

Posting Komentar

monggo dikoment...