3 Feb 2011

BATAL DAN SAHNYA AKAD Bahan Kuliah Hukum Perikatan

A. Pendahuluan
Suatu akad harus memenuhi unsur-unsur pokok dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Syarat-syarat akad bermacam-macam, yaitu :
1. Syarat-syarat terbentuknya akad
2. Syarat-syarat keabsahan akad
3. Syarat-syarat berlakunya akibat hukum akad
4. Syarat-syarat mengikatnya akad
Rukun (unsur) akad, meliputi empat macam dalam doktrin hukum Islam kontemporer, yaitu :
1. Para pihak yang membuat akad.
2. Pernyataan kehendak atau pernyataan perizinan (yang meliputi ijab dan Kabul)
3. Objek akad
4. Tujuan akad
Masing-masing rukun tersebut memerlukan syarat-syarat agar dapat membentuk akad yang kemudian disebut syarat-syarat terbentuknya akad, yaitu :
1. Tamyiz (berakal)
2. Berbilang pihak; kedua syarat ini merupakan syarat dari rukun pertama)
3. Persesuaian ijab dan Kabul
4. Kesatuan majlis akad; syarat 3 dan 4 merupakan syarat dari rukun yang kedua
5. dapt diserahkan
6. tertentu atau dapat ditentukan
7. dapat diperdagangkan; syarat 5, 6 dan 7 merupakan syarat dari rukun yang ketiga
8. tidak bertentangan dengan syarak
Meskipun sudah terbentuk akad, tetapi belum menjadi sah, apabila belum memenuhi beberapa kualifikasi lagi untuk sahnya akad, yaitu :
1. bebas dari gharar
2. bebas dari kerugian yang menyertai penyerahan
3. bebas dari syarat-syarat fasid
4. bebas dari riba untuk akad atas beban
Akad yang sah ada kemungkinannya tidak dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena tidak terpenuhinya beberapa syarat berlakunya akibat hukum akad, yaitu :
1. adanya kewenangan atas objek (asset yang menjadi objek)
2. adanya kewenangan terhadap tindakan hukum yang dilakukan.
Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syarat yang dimaksud tidak terpenuhi.
Dalam mazhab Hanafi tingkat kebatalan dan keabsahan itu dibedakan menjadi 5 tingkatan, yaitu :
1. akad batil
2. akad fasid
3. akad maukuf
4. akad nafiz gair lazim
5. akad nafiz lazim
Keseluruhan akad dalam berbagai tingkat kebatalan dan keabsahan sebagaimana tersebut diatas dibedakan menjadi dua golongan pokok, yaitu :
1. akad yang tidak sah, yang meliputi akad batal dan akad fasid
2. akad yang sah dengan tiga tingkatan, yaitu akad maukuf, akad nafidz gair lazim (akad yang sudah dapat dilaksanakan akibat hukumnya, akan tetapi belum mengikat penuh karena salah satu pihak atau keduanya masih dapat membatalkannya secara sepihak) dan akad nafidz lazim (akad yang sudah dapat dilaksanakan akibat hukumnya dan telah mengikat penuh).

B. Akad Batil (Batal)
1. Pengertian
Dalam bahasa aslinya batal dengan batil mempunyai arti yang berbeda. Batal adalah bentuk masdar dan berarti kebatalan, sedang batil adalah kata sifat yang berarti tidak sah, tidak berlaku.


2. Hukum Akad Batil
Hukum akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat terbentuknya akad, dapat diringkas sebagai berikut :
a. Bahwa akad tersebut tidak ada wujudnya secara syar’i (secara syar’i tidak pernah dianggap ada), ada oleh karena itu tidak melahirkan akibat hukum apa pun. Para pihak tidak dapat menuntut kepada yang lain untuk melaksanakan akad tersebut. Pembeli tidak dapat menuntut penyerahan barang dan penjual tidak dapat menuntut harga.
b. Bahwa apabila telah dilaksanakan oleh para pihak, akad batil itu wajib dikembalikan kepada keadaan semula pada waktu sebelum dilaksanakannya akad batil tersebut.
c. Akad batil tidak berlaku pembenaran dengan cara memberi izin misalnya, karena transaksi tersebut didasarkan kepada akad yang sebenarnya tidak ada secara syar’I dan juga karena pembenaran hanya berlaku terhadap akad maukuf.
d. Akad batil tidak perlu di-fasakh (dilakukan pembatalan) karena akad ini sejak semula adalah batal dan tidak pernah ada. Setiap pihak yang berkepentingan dapat berpegang kepada kebatalan itu, seperti pembeli berpegang terhadap kebatalan dalam berhadapan dengan penjual dan penjual berhadapan dengan pembeli.
e. Ketentuan lewat waktu (at-taqadum) tidak berlaku terhadap kebatalan. Apabila seseorang melakukan akad jual beli tanah, misalnya, dan akad itu adalah akad batil, dan penjual tidak menyerahkan tanah itu kepada pembeli, kemudian lewat waktu puluhan tahun, dimana pembeli menggugat kepada penjual untuk menyerahkan tanah tersebut, maka penjual dapat berpegang kepada kebatalan akad berapa pun lamanya karena tidak ada lewat waktu terhadap kebatalan.





C. Akad Fasid
1. Pengertian
Kata “fasid” berasal kata Arab dan merupakan kata sifat yang berarti rusak. Kata bendanya adalah fasad dan mafsadah yang berarti kerusakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan, “fasid: suatu yang rusak, busuk (untuk perbuatan, pekerjaan, isi hati).
Fasid, menurut ahli hokum Hanafi, adalah akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya. Perbedaannya dengan akad batil adalah bahwa akad batil tidak sah baik pokok maupun sifatnya.

2. Hukum Akad Fasid
a. Pendapat Mayoritas (Jumhur)
Mayoritas ahli hukum Islam, Maliki, Syafi’i dan Hambali, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid. Keduanya sama-sama merupakan akad yang tidak ada wujudnya dan tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Ketidaksahannya disebabkan oleh karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak
b. Pandangan Mazhab Hanafi
Teori akad fasid merupakan kekhususan mazhab Hanafi, yang membedakan akad batil dan akad fasid. Akad batil sama sekali tidak ada wujudnya dan tidak pernah terbentuk karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syarat terbentuknya akad. Sedang akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’I, hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya karena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan akad.
Hukum akad fasid dibedakan antara sebelum dilaksanakan (sebelum terjadi penyerahan objek) dan sesudah pelaksanaan sesudah terjadi penyerahan objek):
1) Pada asasnya, akad fasid adalah akad tidak sah karena terlarang, dan pada asasnya tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak pula dapat diratifikasi, bahkan masing-masing pihak dapat mengajukan pembelaan untuk tidak melaksanakannya dengan berdasarkan ketidaksahan tersebut, dan akad fasid wajib di-fasakh baik oleh para pihak maupun oleh hakim.
2) Sesudah terjadinya pelaksanaan akad (dalam pelaksanaan berupa penyerahan suatu benda, maka sesudah penyerahan benda dan diterima oleh pihak kedua), akad fasid mempunyai akibat hokum tertentu, yaitu, menurut mazhab Hanafi, dapat memindahkan hak milik. Hanya saja, hak milik ini bukan hak milik sempurna dan mutlak, melainkan suatu pemilikan dalam bentuk khusus, yaitu penerima dapat melakukan tindakan hukum terhadapnya, tetapi tidak dapat menikmatinya.

D. Akad Maukuf
1. Pengertian
Kata “maukuf’ diambil dari kata Arab, mauquf, yang berarti terhenti, tergantung, atau dihentikan. Ada kaitannya dengan kata maukif yang berarti “tempat perhentian sementara, halte.” Bahkan satu akar kata dengan “wakaf”. Wakaf adalah tindakan hokum menghentikan hak bertindak hokum si pemilik atas miliknya dengan menyerahkan milik tersebut untuk kepentingan umum guna diambil manfaatnya.

2. Sebab Akad Menjadi Maukuf
Sebab kemaukufan akad ada dua, yaitu :
1) tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hokum yang dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan
2) tidak adanya kewenangan yang cukup atas objek akad karena adanya hak orang lain pada objek tersebut.
Para pihak yang akadnya maukuf karena tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan yang mereka lakukan adalah :
a. mumayyiz (remaja yang belum dewasa)
b. orang sakit ingatan yang kurang akalnya dalam memahami tindakannya, tetapi tidak mencapai gila
c. orang pander yang memboroskan harta kekayaannya, yang dalam hukum Islam disebut safih.
d. Orang yang mengalami cacat kehendak karena paksaan (bagi pendapat yang menjadikan paksaan sebagai sebab maukufnya akad, bukan sebab fasidnya akad).



Hukum Akad Nafidz Gair Lazim
Terdapat beberapa macam akad yang memang sifat aslinya terbuka untuk di-fasakh secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lain. Disamping itu, terdapat pula akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar (opsi) untuk meneruskan atau mem-fasakh akadnya, baik karena hak opsi (khiyar) itu dimasukkan dalam perjanjian sebagai bagian dari klausulnya, maupun karena ditetapkan syarak.

a. Akad yang sifat aslinya terbuka untuk di-fasakh secara sepihak
Ada beberapa akad dalam hukum Islam yang sifat asli akad tersebut tidak mengikat, baik kedua belah pihak maupun salah satu pihak, sehingga dapat di-fasakh secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini sering pula disebut akad jaiz. Termasuk akad yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak adalah akad wakalah (pemberi kuasa), syirkah (persekutuan), akad hibah, akad wadiah (penitipan), dan akad ariah (pinjam pakai). Termasuk akad yang hanya mengikat satu pihak dan tidak mengikat kepada pihak lain adalah akad gadai (ar-rahn) dan akad kafalah (penangguhan).

b. Beberapa macam khiyar
Ada banyak jenis khiyar dalam akad. Sebagiannya terkait dengan sifat akad sehingga membuat akad tidak mengikat secara penuh, antara lain :
1) khiyar syarat, yaitu (hak opsi) yang disyaratkan oleh salah satu atau kedua belah pihak dalam akad bahwa mereka mempunyai hak untuk membatalkan akad dalam waktu tertentu dan jika tidak dibatalkan selama waktu itu, maka akadnya berlangsung (tidak batal).
2) Khiyar at-ta’yin (opsi penentuan), yaitu suatu opsi yang diajukan sebagai klausul dalam perjanjian biasanya oleh pihak keduanya bahwa objek perjanjian itu terdiri beberapa macam yang dapat dipilih untuk ditentukan olehnya.
3) Khiyar ar-ru’yah (opsi setelah melihat), yaitu khiyar (opsi) yang dimiliki oleh pihak yang ketika melakukan transaksi belum mengetahui objeknya, sehingga ketika ia melihat objeknya ia mempunyai opsi untuk membatalkan akad atau meneruskannya.
4) Khiyar al-‘aib (opsi cacat), yaitu khiyar (opsi) yang dimiliki oleh pihak kedua untuk mengembalikan objek perjanjian apabila ternyata mengandung cacat. Khiyar cacat tidak diperjanjikan, melainkan merupakan ketentuan undang-undang syarak.

0 komentar:

Posting Komentar

monggo dikoment...