9 Jun 2011

AKIBAT PUTUSNYA PERCERAIAN



BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia, manusia tidak pernah terlepas dari fitrahnya, yang salah satunya adalah hasrat untuk mendapatkan seorang pendamping hidup yang akan menemaninya mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat. Sebagai agama rahmatul lil ‘alamin, Islam memberikan jalan atau cara bagi umatnya untuk mendapatkan calon pendamping hidup tersebut dengan jalan pernikahan atau perkawinan yang syah menurut syariat maupun hukum positif di Indonesia.
Salah satu tujuan pernukahan itu adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, dimana dengan danya pernikahan ini diharapkan seseorang akan mendapatkan ketentraman hidup dan dapat mengarahkan seseorang pada kehidupan yang lebih baik, dan tidak hanya sampai disitu perkawinan juga diharapkan dapat menyambung tali silaturahmi antara kedua keluarga suami dan istri.
Akan tetapi sebagai manusia biasa, tentunya kita tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan yang bisa saja menyebabkan terjadinya perselisihan pendapat dalam rumah tangga yang juga dapat menimbulkan berakhirnya perkawinan atau perceraian.
Dalam tata hukum positif di Indonesia maupun hukum Islam, masalah perceraian itu sudah diatur sedemikian rupa, mulai dari sebab dan akibat terjadinya perceraian sampai pada tata cara jika seseorang masih tetap ingin mempertahankan perkawinan atau kembali lagi pada suami atau istrinya setelah terjadinya perceraian ( rujuk ). Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis akan mencoba mengulas tentang “ Akibat batalnya perkawinan, Iddah dan rujuk “, semoga bermanfaat.
                                                     



BAB II
AKIBAT-AKIBAT PUTUSNYA PERNIKAHAN, IDDAH DAN RUJUK
A.    Konsep Perundang-undangan
1.      Konsep Perundang-undangan tentang Akibat putusnya Pernikahan
a.      Perundang-undangan Indonesia
1)      Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang dijelaskan oleh Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974 Pasal 41 adalah :[1]
a)      Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya.
b)      Bapak yang bertanggung atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c)      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk mamberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban sebagai bekas istri.
2)      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149, dijelaskan akibat putusnya perkawinan sebagai berikut :
1)      Akibat talak
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a)      Memberikan mut’ah yang layak bagi bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul
b)      Memberi nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c)      Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qabla al dukhul.
d)     Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

2)      Akibat perceraian pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :[2]
a)      Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunta telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
·         Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu.
·         Ayah.
·         Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah.
·         Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
·         Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ibu.
·         Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b)      Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c)      Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d)     Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e)      Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan nomor (1,2,3,4).
f)       Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya, menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.

3)      Akibat khuluk pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.
4)      Akibat li’an pasal 162
Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
2.      Konsep Perundang-undangan Iddah
a.       Perundang-undangan Indonesia
1)      Perspektif Kompilasi Hukum Islam
pasal 153
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut.
a)      Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b)      Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (3) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90(sembilan puluh) hari.
c)      Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d)     Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan samapi melahirkan’
1.      Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul.
2.      Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuh  putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
3.      Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang masa waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
4.      Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

2.      Perspektif UU No. 1/1974
UU Perkawinan tidak mengatur tentang iddah ataupun waktu tunggu secara rinci, satu-satunya pasal yang berbicara tentang waktu tunggu adalah:
a.       Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
b.      Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur  dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
3.      Perspektif Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975
Selanjutnya waktu tunggu itu dimuat dalam PP No.9/1975 pasal 39 yang berbunyi:
1.      Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 Undang-Undang ditentukan sebagai berikut:
a.       Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
b.      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
c.       Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d.      Tidak ada waktu bagi jandayang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
e.       Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tungu dihitung sejak kematian suami.
2.      Konsep Perundang-undangan Rujuk
a.      Kompilasi Hukum Islam
Di dalam Pasal 163 dijelaskan
1.      Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
2.      Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
·         Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla al-dukhul.
·         Putusnya perkawina berdasarkan putusan Pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
 Kemudian dalam pasal 164 dijelaskan:
Seorang wanita dalam iddah talak raji’ berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.
Dalam pasal 165 dijelaskan :
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakam tidak sah dengan putusan pengadilan agama.
Dalam pasal 166 dijelaskan:
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya pada instansi yang mengeluarkan semula.
b.      perspektif Keputusan Menteri Pertahanan nomor 1/1980 tentang Permohonan Izin Kawin, Cerai dan rujuk bagi anggota ABRI
pasal 1
rujuk ialah kembalinya kehidupan suami istri setelah perceraian.
Pasal 3
Setiap perkawinan, perceraian dan rujuk dilaksanakn menurut ketentuan/tuntutan agama yang dianut anggota ABRI yang bersangkutan dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakam tidak sah dengan putusan pengadilan agama.
Selanjutnya dalam BAB IV tentang tatacara permohonan kawin cerai dan rujuk khusus bagi yang beragama Islam dijelaskan:
“setiap anggota ABRI yang telah menjatuhkan talak raj’i (1 dan 2) terhadap isterinya kemudian hendak  rujuk sebelum masa iddahnya habis diharuskan memberitahukan secara tertulis maksudnya itu kepada pejabat yang berwenang memberi izin nikah/cerai”.
B.     Konsep Perundang-undangan Negara Muslim Lain
1.      Malaysia
Orang-orang Melayu di Negeri sembilan, melaka mengikuti UU Mahkamah Melayu Serawak yang mengatur masalah perkawinan dan perceraian. UU Islam di Malaysia adalah batu surat di Terengganu yangberisi tentang hutang piutang, hukuman bagi pelaku zina dan wanita kurang sopan. UU pertama yang berhubungan dengan Islam yang diperkenalkan oleh Inggris di Malaysia adalah Mohammedan Marriage Ordinance, No. V tahun 1880, setelah Malaysia merdeka maka Malaysia mempunyai hukumnya sendiri mengenai masalah-masalah perkawinan disetiap Negeri di Malaysia yang ditetapkan dalam Enakmen atau Pentadbiran Agama Islam. Dari sub bahasan Enakmen, maka dapat kita ketahui bahwa negara malaysia melakukan pembaharuan bukan hanya dalam bidang perkawinan dan perceraian, akan tetapi juga dalam masalah keuangan, baitul mal, zakat, wakaf, masjid, pindah agama, nafkah, nazar, amanah dan pungutan khairat.
2.      Brunei Darussalam
Undang-undang Keluarga Islam Brunei Darussalam diatur pada UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1956, dimana UU Keluarga Islam secara khusus diatur dalam 29 bab (pasal) saja, yaitu di bawah judul Marriage and Divorce pada bagian VI, yakni pasal 134-154. Sedang judul Maitenance of Dependants pada bagaian VII, mulai dari bab 157-163.
Pada tahun 1984 Brunei Darussalam memperbaharui hukum keluarganya yang dikenal dengan Hukum Brunei disi revisi tahun 1984 (laws of Brunei Revisied Edition 1984). Dalam hukum Brunei ini ada beberapa bagian yang mengatur perkawinan dan perceraian, yakni:
a.       Bagian 76 (chapter 76) tentang perkawinan
b.       Bagian 77 (chapter 77) tentang Majlis Agama dan Hakim Pengadilan,
c.        Bagian 124 (chapter 124) tentang Pendaftaran Perkawinan.
Pada tahun 1984 Brunei Darussalam melakukan revisi terhadap UU Brunei (Revision Laws of Brunei) dengan mengganti nama UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadi No. 20. Tahun 1956 menjadi Akta Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77 (AKUMKP 77) dan beberapa perubahan kecil.  Perlu dicatat, bahwa pembaharuan pada tahun 1984, selain dalam bidang perkawinan dan perceraian juga menyangkut tentang Warisan dan Perwalian (Succession and Regency), yang terdiri dari 8 bab dan 32 pasal. Serta chapter 120 (bagian 120) UU Brunei revisi 1984 tentang Perlindungan terhadap Anak Perempuan Kecil dan Anak Perempauan Dewasa (Women and Girls Protection), yang terdiri dari 26 pasal.
3.      Singapore.
UU keluarga yang berlaku di singapore sama dengan UU yang berlaku di Pulau Pinang dan Melaka, dan pada Tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dalam Mohammedan Marriage Ordinance, No. V tahun 1880. UU ini sekaligus menjadi UU pertama yang diperkenalkan oleh penjajah Inggris mengenai hukum Islam, setelah mereka mencampuri urusan pemerintah di daerah negeri Melayu. Undang-undang ini terdiri dari 4 bab dan 33 pasal. Pembaharan UU tersebut terjadi dalam beberapa kali, yaitu:
·      Pada tahun 1894 Mohamedan Marriage Ordinance (Amendment), No. XIII tahun 1894. Pada perubahan tersebut tidak diperjelas materi apa yang dirubah.
·      Pada tahun 1902; Ordinance No. XXXIV of 1902, memberikan kekuasaan pada Governor (pemegang Mahkamah Agung) untuk melantik Pendaftar (Registart) Perkawinan di masing-masing negeri Selat, dengan kata lain esensi perubahan adalah pada perubahan pada tata cara pendaftaran perkawinan.
·      Pada tahun 1908; Ordinance XXV/ 1908, yang berisi kewajiban pendaftaran perkawinan dan perceraian, governor berkuasa untuk melantik dan memecat kadi, kadi sebagai pendaftar perkawinan dan perceraian, masalah nafkah, dan masalah yang menyangkut perkawinan dan perceraian.  Dan pembaharuan yang bersifat perbaikan pada tahun 1909, 1917, 1920, 1923, 1926, 1934, 1936.
Adapun UU Keuarga Islam pertama yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian setelah singapore menjadi negara sendiri  adalah the Muslim Ordinance 1957 (yang isinya tidak jauh beda denagn UU sebelumnya). Kemudian UU tersebut mengalami beberapa kali pembaharuan (amandemen) yaitu pada; 1958, 1960, 1966 yang dalam bahasa Inggris disebut the administration of Muslim Law Act (AMLA) yag isinya mencakup: perkawinan, perceraian (talak, cerai, fasakh dan khuluk), pertunangan, pembagian harta bersama, pembayaran mas kawin, nafkah, mut’ah dan pemeliharaan anak. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa UU Keluarga Muslim di Singapore pernah mengalami pembaharuan yang meliputi: perkawinan, perceraian, harta warisan, dan pemeliharaan anak, serta hal yang mendasar adalah masalah administrasi perkawinan dan perceraian.
4.      Philipina
Hukum Keluarga Islam pertama yang diberlakukan secara khusus bagi muslim philipina adalah Code of Muslim Personal Law of the Philiphines pada tahun 1977. Kodifikasi ini ditetapkan berdasarkan Dekrit presiden Ferdinand E. Marcos No. 1083 pada 4 pebruari 1977, kemudian pernah diamandemen pada tahun 1987 dengan lahirnya Executive Order No. 209/ 1987 dan diamandemen lagi dengan No. 227/ 1987. Jadi pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Philiphine berdasarkan dekrit presiden, dan menjadi sebuah kodifikasi “Executive Order No. 227/ 1987.
5.      Negara-negara Islam di Timor Tengah
a.       Tunisia
Ada dua hal yang menonjol dalam pembaruan hukum keluarga Tunisia, yakni keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami secara mutlak. Hal ini diatur dalam Majallah al Ahwal Al Syakhsiyyah No. 66/ 1956 (yang mencakup perkawinan, perceraian dan pemeliharaan anak) pasal 18. Adapun perubahan, penambahan, dan modifikasi yaitu pada tahun 1959, 1964, 1981, dan 1993.
b.      Syria
Hukum keluarga diatur dalam Qanun al-akhwal al-syakhsiyyah 1953 yang diamandemen pada tahun 1975 dengan maksud unttuk menjamin hak-hak perempuan dalam pandangan hukum. Pembaharuan hukum keluarga Syria, antara lain terkait dengan syarat usia menikah, pertunangan, poligami, perceraian, wasiat dan warisan.
c.       Mesir
Pembaharuan hukum keluarga Mesir dimulai tahun 1874 dan perubahan secara radikal 1920, setelah itu terjadi berulang kali  amandemen antara lain tahun 1929, 1979 dan 1985. Pembaharuan yang dimaksud, antara lain terkait dengan poligami, wasiat wajibah, warisan dan pengasuhan anak. Di samping itu hukum keluarga mesir  juga memberikan ancaman hukuman terhadap orang yang memberikan pengakuan palsu kepada pegawai pencatat perkawinan tentang status perkawinan dan alamat palsu.
d.      Yordania
 Pembaharuan hukum keluarga di Yordania yang terdapat dalam UU Qonun al-akhwal al-syaksiyyah (Law of Personal Status) No. 61/ 1976 terkait dengan batas usia perkawinan, perjanjian perkawinan, perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan, perceraian dan wasiat wajibah.
e.       Irak
pembaharuan hukum keluarga Irak dimulai tahun 1947 dengan lahirnya Qanun al-akhwal al-syakhsiyyah, tetapi baru resmi baru resmi diumumkan tahun 1959 (No. 188 Tahun 1959). Undang-undang tersebut kemudian diamandemen pada tahun 1963, 1978, dan 1983. Pembaharuan hukum keluarga tersebut, antara lain terkait dengan masalah status wali, pemberian mahar, wasiat wajibah, dan pengasuhan anak (hadhanah).

C.    Pendapat Para Fuqaha dan Ulama Kontemporer
‘Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung.Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita.Sedangkan secara istilah, ‘iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.
Az-Zamakhsyari berkata mengenai surat al-baqarah ayat 228, ayat ini berbentuk kalimat berita bermakna penguat perintah dan memberi isyarat termasuk sesuatu yang wajib diterima dengan segera agar dipatuhi. Seakan-akan mereka telah patuh terhadap perintah menunggu, kemudian Allah memberitakannya apa adanya.[3]
Para ulama mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.
Dengan redaksi yang agak panjang Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi ‘iddah dengan jenjang waktu yang ditentukan untuk menanti kesucian ( kebersihan rahim ) dari pengaruh hubungan suami istri setelah sang istri diceraikan atau ditinggal mati suami, yaitu waktu yang biasa dipikul oleh istri setelah putus ikatan pernikahan karena dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan kelamin atau yang sesamanya seperti bermesra-mesraan ( dengan pria lain jika ia segera menikah ).
Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata ‘iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1.         Dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian kata ‘iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya.
2.         Dilihat dari segi istri, masa ‘iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain.
Berkenaan masalah quru’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh.Wanita yang tidak mengandung dan masih termasuk dalam kategori orang yang masih haid, masa ‘iddahnya diatur menurut aqra’.Dalam hal ini terdapat perpedaan di kalang ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah.Bagi ulama Malikiyah makna salah satu quru’ adalah tiga kali haid, sedangkan Syafi’iyah memahaminya tiga kali suci. Kendati demikian jika dikonversi ke dalam hitungan hari sebenarnya hampir sama yaitu lebih kurang 3 bulan. Bagi wanita yang belum atau tidak haid lagi, masa ‘iddahnya selama tiga bulan.
Akan tetapi menurut Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas, ‘iddah yang dipakai adalah yang terlama, Jika wanita tersebut melahirkan sebelum masa empat bulan sepuluh hari, maka ‘iddahnya tetap empat bulan sepuluh hari.Jika setelah lewat empat bulan  sepuluh hari, maka ‘iddahnya tetap empat bulan sepuluh hari.Jika setelah lewat empat bulan sepuluh hari, tetapi wanita tersebut belum juga melahirkan maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan.
Menurut ulama hanafiyah, bahwa bersepi (qabla al-dukhul) dalam pernikahan yang shahih mewajibkan iddah, demikian juga ulama malikiyah dan hanabilah. Ibnu Qudamah membela pendapat ini, dengan alasan bahwa hal ini merupakan ijma’ para sahabat. Imam Ahmad dan lain-lain meriwayatkan bahwa, KhulafaurRasyidin  memutuskan bahwa orang yang mengulurkan gorden (tutup) atau menutup pintu wajib mahar dan wajib iddah.[4]
Selanjutnya mengenai rujuk, Dalam istilah fiqih, ruju’ berarti meneruskan atau mengekalkan kembali hubungan perkawinan antara pasangan suami istri yang sebelumnya dikhawatirkan dapat terputus karena dijatuhkannya talak raji’ oleh suami. Ruju’ merupakan hak suami yang telah ditetapkan oleh allah SWT.
Madzhab Hanafi mendefinisikan rujuk dengan “melangsungkan hak milik yang ada tanpa adanya ganti rugi, selama masa iddah masih ada, atau melanjutkan hubungan suami istri selama masih dalam masa iddah akibat talak raji’.
Adapn rukun ruju’ adalah sighat serta perbuatan yang menunjukkan keinginan tersebut. Madzhab Syafi’i menetapkan rukunnya seperti sighat dan suami yang akan melaksanakan rujuk.menurut hanbali, ditambah dengan ijma’, sedangkan menurut Maliki rukunnya adala niat suami yang menyatakan rujuknya dan istri yang akan dirujuk.
Ulama fiqih juga telah menetapkan sahnya rujuk sebagai berikut:
1.      Suami yang melakukan rujuk adalah orang yang cakap bertindak hukum yang baligh dan berakal.
2.      Suami yang akan rujuk harus menyatakan dengan jelas keinginannya atau dapat juga dengan sindiran. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat boleh langsung dengan perbuatan.
3.      Status wanita yang sedang ditalak haruslah masin berada dalam masa iddah.
4.      Rujuk harus dilakukan secara langsung tanpa ada persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh suami.
Menurut Wahbah al Zuhaily, hal-hal dibawah ini tidak disyariatkan untuk rujuk yaitu:
1.      Kerelaan istri.
2.      Tidak disyaratkan suami untuk memberitahu istrinya, karena lagi-lagi rujuk merupakan hak suami.
3.      Saksi ketika rujuk
4.      Penting dicatat, mengenai saksi, madzhab az-Zahiri menyebutkan berdasarkan surat ath-thalak ayat 2, menghadirkan saksi merupakan kewajiban.
Menurut imam syafi’i ruju’ mesti dengan ucapann, tidak cukup dengan perbuatan dan kemudian harus diiringi pula dengan ucapan dan dua orang saksi.
Menurut imam hanafi dan syi’ah serta kelompok itsna asy’ari rujuk cukup dengan mencampuri istrinya itu dan telah hidup pula nyata-nyata sebagai istri se-hari-hari.
D.    Perbandingan Undang-Undang dengan konsep fiqh
Akibat-akibat putusnya perkawinan
Kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak terhadap istrinya adalah :[5]
1.      Memberi  mut’ah ( memberikan untuk menggembirakan hati kepada bekas istri ). Mut’ah itu boleh berupa pakaian, barang-barang atau uang sesuai dengan keadaan atau kedudukan suami
2.      Memberi nafkah, pakaian dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak itu, selama ia masih dalam masa iddah.
3.      Membayar atau melunaskan mas kawin, apabila suami menjatuhkan talak kepada istrinya maka wajiblah membayarkan atau melunaskan mas kawin.
4.      Membayar nafkah untuk anak-anaknya, suami yang menjatuhkan talak wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya menurut kedudukan suaminya.

E. Nash-nash yang berkaitan dengan akibat-akibat putusnya perkawinan,  rujuk dan iddah.
A.    Akibat-akibat putusnya perkawinan
1.       Firman Allah Surat Al-baqarah: 241
ÏM»s)¯=sÜßJù=Ï9ur7ì»tFtBÅ$râ÷êyJø9$$Î/($ˆ)ymn?tãšúüÉ)­GßJø9$#ÇËÍÊÈ
Artinya :kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
Firman Allah SWT : Iddah
2.      àM»s)¯=sÜßJø9$#uršÆóÁ­/uŽtItƒ£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè% ..... ÇËËÑÈ

Artinya: “ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'….”. ( QS. Al-Baqarah: 228 )
Al-baqarah 234;

tûïÏ%©!$#urtböq©ùuqtFãƒöNä3ZÏBtbrâxtƒur%[`ºurør&z`óÁ­/uŽtItƒ£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spyèt/ör&9åkô­r&#ZŽô³tãur(#sŒÎ*sùz`øón=t/£`ßgn=y_r&Ÿxsùyy$oYã_ö/ä3øŠn=tæ$yJŠÏùz`ù=yèsùþÎû£`ÎgÅ¡àÿRr&Å$râ÷êyJø9$$Î/3ª!$#ur$yJÎ/tbqè=yJ÷ès?׎Î6yzÇËÌÍÈ

0 komentar:

Posting Komentar

monggo dikoment...