15 Jul 2013




Kemarin saya membeli laptop untuk saudara. Saya membeli laptop baru pada kenalan yang sudah lama menjual laptop. Harganya pun lebih murah dibanding penjual-penjual lain. Setelah laptop diinstal, seorang karyawan teman saya mengatakan bahwa garansi laptop adalah selama satu tahun. Kemudian saya menanyakan dimana letak kata-kata garansi satu tahunnya. Namun ia tidak bisa menjawab, kemudian saya menyampaikan berarti garansi satu tahun itu hanya dalam lisan tidak ada dalam tulisan. Ia pun lantas menyampaikan bahwa tidak ada ketentuan tertulis.
Mungkin ini sepele namun dari sini akan menjadi masalah di kemudian hari. Yakni ketika terjadi kerusakan pada laptop, bisa saja si penjual berkilah dan tidak mau bertanggung jawab dengan beribu alasan dan hal itu terjadi karna tidak adanya ketentuan tertulis akan lamanya garansi laptop.
Hal ini tidak jarang terjadi dalam kegiatan jual beli, baik itu jual beli produk yang sifatnya primer sampai tersier. Adanya ketidak puasan diantara kedua belah pihak, terutama di pihak pembeli. Si pembeli merasa adanya ketidak adilan, merasa ditipu atau dicurangi. Saya sebenarnya tidak hendak menyalahkan penjual, ketika terjadi ketidak puasan salah satu pihak. Meskipun terdapat juga penujual yang sengaja melakukan kecurangan dalam berniaga.
Permasalahan ketidak puasan antara penjual dan pembeli jika ditelisik lebih dalam sebenarnya banyak bermula saat terjadi akad dalam transaksi. Pembeli begitu mudah melakukan deal dengan penjual namun kurang jeli menanyakan tentang kondisi barang dan harga.
Islam mendorong atau mensyariatkan terjadinya jual beli yang menguntungkan kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam Alquran Allah SWT berfirman Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu.”(QS. Annisa ayat 29). Jual beli yang dikehendaki Allah adalah jual beli yang didasarkan pada keridhoan antara kedua belah pihak.
 Agar terjadi keridhoan dan kepuasan dalam jual beli maka fiqh muamalat menekankan pentingnya kejelasan akan barang dan harga. Bahkan ia merupakan salah satu sarat dari sahnya jual beli. Jika barang dan harga tidak jelas keadaannya, atau salah satu saja tidak jelas keadaannya maka jual beli tersebut tidak sah karena dapat menimbulkan unsur peniupun.
Oleh karena itu dalam jual beli si penjual harus menjelaskan dengan benar bagaimana kondisi barang yang sebenarnya, spesifikasi barang serta cacat barang jika ada dan yang tidak kalah penting adalah harga barang. Begitu juga pembeli harus benar-benar menanyakan detail barang dan harga berikut ketentuan yang melekat padanya. Agar dapat menjadi penguat lebih baik dimintakan bukti tertulis yang dibubuhi tanda tangan, stempel bahkan materai. Sehingga ketika terjadi sesuatu dikemudian hari akad yang tertulis tersebut bisa menjadi acuan. Setelah mengetahui kondisi barang dan harga barulah pembeli menentukan akan membeli barang atau tidak.
Perlu diketahui pula bahwa dalam muamalat prinsip yang melekat dalam jual beli adalah mubah, al-ukhuwah (persaudaraan), kemaslahatan, antarodin (kerelaan) dan keadilan.   Jika lima prinsip tersebut dipahami dan diamalkan oleh penjual dan pembeli maka jual beli yang antaradimminkum akan dengan mudah terwujud. wallahualam

8 Feb 2013





Waktu itu, hujan turun deras sejak sore hari. Saya yang sedang menyantap makanan bersama teman-teman tidak begitu menghiraukan datangnya hujan, bahkan tetap asik menyantap makanan.  Makan bersama merupakan kebiasaan di pondok kami, Pondok Pesantren Entrepreneur Umar Bin Khattab Indonesia (UBKI), dengan itu pula ikatan ukhuwah kami terjalin semakin erat hari ke hari.
Di Ponpes UBKI ini, kami para santri mempunyai latar belakang yang berbeda. Latar belakang –jama’ah- misalnya. Beberapa dari Nahdiyin, Tarbiyah, dan Hizbut Tahrir (HT). Namun kami tidak mempermasalahkan hal itu, kami ingin hidup berdampingan dalam suasana harmonis.
Sampai menjelang maghrib hujan pun belum reda sementara azan telah berkumandang. Masing-masing kami mulai mempersiapkan diri untuk memenuhi panggilan suci. Ada yang menuju masjid dengan menggunakan payung dan mantel dan ada pula yang memutuskan untuk melaksanakan sholat di pondok, saya salah satunya.
Sebelum sholat dimulai, saya yang ditunjuk sebagai imam menyampaikan bahwa sholat isya akan dijama’  bersamaan dengan waktu sholat Maghrib. Selesai melaksanakan sholat Maghrib, saya mengajak beberapa teman untuk menjama’ sholat Isya dengan alasan hujan. Namun, ada salah seorang di antara teman kami yang tidak sepakat akan diperbolehkannya hal itu. karena perbedaan pendapat ini, pada akhirnya kami memutuskan untuk tidak menjama’ sholat.
Berangkat dari perbedaan pendapat –dalam hal ini agama- yang mungkin bukan hal yang tabu dalam agama kita, dapan menyebabkan perbedaan pula dalam pelaksanaannya. Namun, dalam tulisan ini, saya tidak ingin melakukan studi kebolehan menjama’  kemudian memaparkannya di akhir tulisan. , saya hanya ingin mencoba mengambil nilai positif pada sisi yang berbeda.
Pertama, perbedaan pendapat dapat mendorong kita untuk lebih mendalami ilmu yang sedang kita perdebatkan. Karena ibadah tanpa ilmu juga bukan hal yang dibenarkan. Hikmah dari perbedaan pendapat usai sholat Maghrib tadi memacu kita untuk berfikir lebih objektif. Mencari jawaban yang benar atau setidaknya mengetahui dalil yang mendasari mengapa kita melakukan suatu ibadah.
Kedua, perbedaan pendapat juga mendorong kita untuk menghargai pendapat orang lain. Setelah kita mengetahui dalil yang mendasari kita untuk melakukan ibadah tersebut, bisa jadi masalah belum selesai.  Sangat mungkin kita akan saling mengunggulkan dalil satu atas dalil yang lain. Saling mengunggulkan dalil tersebut bisa disebabkan karena ulama tempat kita menyandarkan dalil ternyata mempunyai perbedaan pendapat. Maka yang perlu dilakukan atas perbedaan pendapat tersebut adalah saling menghormati. “Aku menjamin sebuah rumah di teras surga...” Sabda Rasulullah SAW, “bagi yang meninggalkan debat kusir meskipun dia dalam posisi benar...”
Dan yang ketiga, tetap menjaga ukhuwah di antara perbedaan yang ada. Karena perbedaan pendapat pasti dan akan selalu ada, satu-satunya hal yang tetap bisa menyatukan kita, sesama muslim, adalah ukhuwah. Ukhuwah ini sangatlah penting, karena tanpanya umat ini akan hilang ditelan arus peradaban dan hantaman musuh islam.
Luar biasa. Dengan kepala dingin, dan baik sangka sesama muslim, maka setiap masalah yang menghampiri kita akan menjadi ladang pembelajaran dan hikmah. Dengan mengedepankan objektifitas, wawasan kita akan semakin bertambah. Dengan berkomitmen untuk terus menjaga ukhuwah, maka umat ini akan kembali mengambil kejayaannya. Wallahu  a'lam.