29 Agu 2012


Mudik merupakan ritual tahunan masyarakat indonesia. Mereka yang lama merantau ingin pulang ke kampung halamannya meskipun hanya sebentar. banyak penjabaran tentang ritual yang satu ini , ritual yang bukan sekedar kegiatan melintasi daerah-daerah kemudian sampai kerumah.
Sebagaimana tahun sebelumnya, alhamdulillah tahun ini saya bisa pulang ke kampung halaman. Setelah kurang lebih satu tahun menimba ilmu di perantauan akhirnya bisa bersua kembali bersama keluarga. Bertemu dengan ibu, ayah, kakak, keponakan, tetangga, sahabat dan lain sebagainya.
Hidup di desa ada nilai positif dan negatifnya. Dalam hal bersosialisasi, hidup dikampung memang lebih nikmat. Bisa bercengkrama dengan tetangga yang menjunjung tinggi persaudaraan dan penghormatan terhadap saudara yang lain. Ketika berkunjung ke tetangga atau saudara, jangankan air putih, meminta makan pun pasti di kasih dan tak usah merasa sungkan karena begitulah tradisinya.
Udaranya pun cukup segar, mata air yang mengalir melintasi sawah dan ladang, juga hamparan padi kuning keemasa yang membentang, semunya memberikan panorama alam yang sedap untuk dipandang. Suasana natural itu memikat hati untuk betah berlama-lama di sana. Sungguh pemandangan yang sangat jarang kita temui dilingkungan perkotaan.
Namun tentu saja ada negtatifnya, bukan bermaksud mendiskreditkan namun ini hanya opini saja. Sebuah kritik terhadap trasdisi kejumudan masyarakat desa dan ritme kehidupan yang lambat. Mungkin ini ada hubungannya dengan globalisasi, kita soroti anak muda di desa misal. Mereka kelihatan berpenampilan atau bergaya anak “kota”. Mulai dati gaya rambut, model pakaian sampai bahasa komunikasi. Semuanya mncoba untuk meniru gaya anak kota. Padahal, saya yang lama di kota melihat tidak seperti itu penampilan anak kota. Saya tertawa juga merasa miris, melihat tata cara mereka bersosialisasi. Parahnya lagi, hal itu lambat laun melunturkan nilai-nilai budaya desa yang santun ramah dan bersahaja.
Belum lagi kaum tua, tidak jarang yang acuh terhadap pendidikan anaknya. Mereka enggan memikirkan bagaimana pendidikan anaknya kelak, juga termasuk pendidikan agama. Mereka lebih suka membelikan barang-barang mewah kepada anaknya dari pada menabung untuk mendorong pendidikan sang buah hati hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bak gayung bersambut, sang anak yang tidak menyadari pentingnya pendidikan ikut masa bodoh sehingga memilih berhenti ke sekolah dan “bekerja”.
Itulah masyarakat desa, meskipun tidak semunya, namun beberapa desa yang saya amati menampakkan kecendrungan yang sama. Semoga keprihatinan ini bisa membuka kesadaran bagi semunya begitu juga pada pengampu kebijakan yang telah dibebankan amanahnya dipundaknya.