Mudik merupakan ritual tahunan masyarakat indonesia. Mereka yang lama
merantau ingin pulang ke kampung halamannya meskipun hanya sebentar. banyak
penjabaran tentang ritual yang satu ini , ritual yang bukan sekedar kegiatan melintasi
daerah-daerah kemudian sampai kerumah.
Sebagaimana tahun sebelumnya, alhamdulillah tahun ini saya bisa pulang ke
kampung halaman. Setelah kurang lebih satu tahun menimba ilmu di perantauan akhirnya
bisa bersua kembali bersama keluarga. Bertemu dengan ibu, ayah, kakak,
keponakan, tetangga, sahabat dan lain sebagainya.
Hidup di desa ada nilai positif dan negatifnya. Dalam hal bersosialisasi,
hidup dikampung memang lebih nikmat. Bisa bercengkrama dengan tetangga yang
menjunjung tinggi persaudaraan dan penghormatan terhadap saudara yang lain.
Ketika berkunjung ke tetangga atau saudara, jangankan air putih, meminta makan
pun pasti di kasih dan tak usah merasa sungkan karena begitulah tradisinya.
Udaranya pun cukup segar, mata air yang mengalir melintasi sawah dan
ladang, juga hamparan padi kuning keemasa yang membentang, semunya memberikan
panorama alam yang sedap untuk dipandang. Suasana natural itu memikat hati
untuk betah berlama-lama di sana. Sungguh pemandangan yang sangat jarang kita
temui dilingkungan perkotaan.
Namun tentu saja ada negtatifnya, bukan bermaksud mendiskreditkan namun
ini hanya opini saja. Sebuah kritik terhadap trasdisi kejumudan masyarakat desa
dan ritme kehidupan yang lambat. Mungkin ini ada hubungannya dengan
globalisasi, kita soroti anak muda di desa misal. Mereka kelihatan
berpenampilan atau bergaya anak “kota”. Mulai dati gaya rambut, model pakaian
sampai bahasa komunikasi. Semuanya mncoba untuk meniru gaya anak kota. Padahal,
saya yang lama di kota melihat tidak seperti itu penampilan anak kota. Saya
tertawa juga merasa miris, melihat tata cara mereka bersosialisasi. Parahnya
lagi, hal itu lambat laun melunturkan nilai-nilai budaya desa yang santun ramah
dan bersahaja.
Belum lagi kaum tua, tidak jarang yang acuh terhadap pendidikan anaknya.
Mereka enggan memikirkan bagaimana pendidikan anaknya kelak, juga termasuk
pendidikan agama. Mereka lebih suka membelikan barang-barang mewah kepada
anaknya dari pada menabung untuk mendorong pendidikan sang buah hati hingga ke
jenjang perguruan tinggi. Bak gayung bersambut, sang anak yang tidak menyadari
pentingnya pendidikan ikut masa bodoh sehingga memilih berhenti ke sekolah dan
“bekerja”.
Itulah masyarakat desa, meskipun tidak semunya, namun beberapa desa yang
saya amati menampakkan kecendrungan yang sama. Semoga keprihatinan ini bisa
membuka kesadaran bagi semunya begitu juga pada pengampu kebijakan yang telah
dibebankan amanahnya dipundaknya.