31 Mar 2011


Bab I
A.  Konsep Perundang-Undangan Peminangan
1.      Di Indonesia
Peminangan di Indonesia, diatur dalam undang-undang perkawinan bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :
Ø Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat dilakukan oleh orang yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya.
Ø Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki.
Ø Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat.[1]
2.      Di Negara-Negara Islam
B.  Nash Mengenai Peminangan
·      Hadis yang berkaitan dengan melihat pinangannya
عن المغيرة ابن  شعبة انه خطب امرأة فقال له رسول الله ص م : أنظرت اليها ؟ قال :لا,قل: انظراليهافانه ايؤدم بينكما (رواه النسائي وابن ماجه الترمذي)
“Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah Saw bertanya kepadanya: sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab : belum. Sabda Nabi : Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng. (H.R. Nasa’I, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).”

·      Surat An-Nur ayat 31.
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“dan janganlah (kamu wanita )menampakkan perhiasaanya kecuali yang biasa, tampak darinya”
·         Hadis yang berkaitan dengan haramnya meminang pinangan orang lain
المؤمن أخوالمؤمن فلا يحل له ان يبتاع علي بيع أخيه ولا يخطب علي خطبة أخيه حتي يدري (رواه احمد ومسلم)
“orang mukmin dengan mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya sehingga ia meninggalkannya”.
·         Nash al-qur’an yang berkaitan dengan meminang perempuan yang sedang dalam masa idah, surat Al-Baqarah ayat 235
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ……….
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikannya (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…….”
·         Hadis Fatimah binti Qais r.a. :
عن النساء, واما معاوية فصعلوك لامال له ولكن انكحي أسامة  جاءت فطمة الي النبي ص م فذكرت له ان ابا جهم ابن خذيفة ومعاوية ابن سفيان خطباها, فقل : اماابوجهم فرجل لايرفع عصاه
“Fatimah datang kepada Nabi Saw., kemudian ia menceritakan kepada beliau bahwa Abu Jahm bin Hidzifiah dan mu’awiyah bin abi sufyan telah meminangnya. Maka Nabi Saw. Bersabda; Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya dari orang-orang perempuan (suka memukul)”. Adapun Mu’awiyah adalah orang miskin, tetapi nikahlah kamu dengan Usmah.
·         Al-Qur’an surat al-Qhishas ayat 27 menjelaskan bahwa wanita boleh melamar pria karena dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya. 


C.  Menurut para Fuqaha’ tentang peminangan
Peminangan dalam ilmu fiqh disebut  “Khithbah”  artinya permintaan. Menurut istilah, ialah pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan melalui perantara pihak yang lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.[2]
Dalam agama islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Abu daud membolehkan melihat seluuh badan, kecuali dua kemaluan. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman  dalam surah al Nuur ayat 31: “...Dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak pada dirinya...” yang di maksud “perhiasan yang biasa tanpak daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan.[3]
Jika pertunangan tersebut putus, apakah barang-barang yang sudah diberikan itu harus dikembalikan atau tidak? Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat, yaitu:[4]
1.      Menurut madzhab Hanafi bahwa masing-masing pihak harus mengembalikan kepada masing-masing, bila hadiah itu masih ada wujudnya, tetapi kalau sudah tidak ada wujudnya maka tidak perlu diganti dengan uang.
2.      Menurut madzhab Syafi’I bahwa para pihak peminang yaitu pihak laki-laki berhak menerima kembali barang-barang yang telah diberikan pada pihak wanita jika wujudnya masih ada dan harus diganti harganya jika barang-baang itu sudah tidak ada wujudnya.
3.      Menurut madzhab Maliki membedakankan pihak mana yang memutuskan pertunangan, apabila yang memutuskan pihak laki-laki, maka pihak wanita tidak berkewajiban mengembalikan hadiah-hadiah yang diterima, tetapi apabila yang membatalkan wanita, maka pihak wanita wajib mengembalikan hadiah-hadiah itu kepada pihak laki-laki.
Dari beberapa pendapat diatas pendapat madzhab Malikilah yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku sekarang khususnya di Indonesia dan mendekati dengan keadilan.   
D.  Peminangan (Khithbah) di masa Rasulullah
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut: Abdurrahman Bin‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari).
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
E.     Peminangan di Indonesia
Di Negara kita khususnya di Indonesia tunangan sudah membudaya, Budaya tersebut sudah melekat bahkan hampir di semua akad didahului dengan acara pertunangan. Bentuk pertunangan yang mewarnai masyarakat kita berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang cukup dengan pertukaran cincin yang disertai dengan persetujuan kedua mempelai tanpa melibatkan orang lain, ada juga yang membuat pesta besar-besaran yang melibatkan semua keluarga baik yang jauh maupun yang dekat dan juga mengundang orang sekampung untuk mengikuti acara selamatan bagi pasangan yang akan menjalin keluarga baru. Bahkan saking girang dan bahagianya banyak dari pihak mempelai pria yang telah memberikan maharnya sebelum akad pernikahan dilangsungkan, begitu juga menghadiahkan sepasang baju cantik dan barang-barang indah lain untuk kekasih tunangannya.
Budaya pertunangan ini ada yang sukses sampai ke jenjang tali perkawinan, namun ada juga yang kandas ditengah jalan tanpa membuahkan hasil yang mereka idam-idamkan dan tak jarang malah menimbulkan sengketa antar keluarga, sudah menjadi rahasia umum pertunangan yang batal adalah ajang percorengan reputasi.[5]
Banyak pihak yang mengatakan bahwa pertunangan banyak nilai positifnya karena  acara ini tujuanya adalah untuk memyatukan kedua belah pihak baik dari segi calon suami istri ataupun dari dua keluarga besar. Akan tetapi ada juga nilai negatifnya karena kebanyakan tunangan kandas ditengah jalan.
F.     Hukum Pertunangan (khithbah)
Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama’ cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.[6]
Disamping itu, kebolehan pertunangan ini sudah dijelaskan sesuai dengan hadis Fatimah binti Qais r. a., pada waktu itu Fatimah bercerita kepada nabi SAW bahwa dia telah dilamar dua orang laki- laki. Dari sini kita dapat  menyimpulkan bahwa pertunangan adalah sudah ada  dan diperbolehkan. 
Bab  II
A.    Konsep Perundang-Undangan Mahar
1.      Di Indonesia
Di Indonesia perundanga-undangan tentang mahar di atur dalam undang-undang perkawinan pada bab ke 1 (ketentuan umum) pasal 1d, dan bab ke V tentang mahar pasal 30-38.  Dalam kompilasi hukum islam di jelaskan, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada caln mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam.
Ø Pasal 30 menjelaskan bahwa calon suami berkewajiban memberikan mahar kepada calon istri.
Ø Pasal 31 menjelaskan bahwa asas mahar adalah sederhana dan mudah.
Ø Pasal 32 menjelaskan bahwa mahar menjadi hak milik penuh calon istri.
Ø Pasal 33 ayat (1),menjelaskan penyerahan mahar dengan cara tunai. Sedangkan pada ayat 2, mahar boleh ditangguhkan dengan persetujuan istri.
Ø Pasal 34 ayat 1 dan 2, menjelaskan mahar bukan merupakan salah satu rukun dalam perkawinan sehingga kelalain menyebut jenis dan jumlah mahar pada akad nikah tidak memnyebabkan batalnya perkawinan.
Ø Pasal 35 menjelaskan tentang akibat talak, suami yang mentalak istrinya sebelum hubungan badan wajib membayar mahar yang telah ditentukan. Sedangkan bila suami meninggal dunia sebelum berhubungan badan, mahar yang diberikan menjadi hak penuh istri. Adapun jika terjadi perceraian sebelum hubungan dan jumlah mahar belum ditentukan maka wajib membayar mahar mitsl.
Ø Pasal 36 menjelaskan jika mahar hilang sebelum diberikan maka wajib diganti.
Ø Pasal 37 menjelaskan jika terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar maka diselesaikan di Pengadilan Agama.
Ø Pasal 38 menjelaskan jika mahar terdapat cacat, keputusan untuk menganti mahar atau tidak bagi suami diserahkan sepenuhnya kepada mempelai wanita. [7]
2.      Di Negara-Negara Islam
a.       Malaysia
Masalah mahar dalam undang-undang Malaysia diatur pada pasal 21 ayat 1 sampai 2 dalam sub “mas kahwin dan pemeberian”. Disebutkan mas kahwin biasa dibayar seorang calon suami atau yang mewakili pada calon isteri atau yang mewakili dengan dhadiri petugas pencatat nikah dan minimal dua orang saksi. Kemudian disebut, pencatat nikah mencatatkan setiap pernikahan, meyakinkan dan mencatat :
Ø Jumlah dan keterangan lain tentang mahar
Ø Jumlah dan keterangan lain sebagai pemberian
Ø Jumlah dan keterangan lain dari mahar atau pemberian atau dua-duanya yang dijanjikan tetap belum dibayarkan padaw aktu akad nikah, dan janji tanggal pembayaran, dan
Ø Keterangan yang dapat diberikan jaminan untuk membayar mahar atau pemberian.[8]
b.    Lebanon
Masalah mahar dalam undang-undang Lebanon tahun 1962 menjadi sub bahasan tersendiri di bagian ke satu dari bab ke enam, pasal 80-91[9].
Ø  Pasal 80 ayat 1 dan menjelaskan jenis mahar ada dua, yakni mahar khusus yang ditetapkan kedua belah pihak dan mahar mitsl ( mahar yang disesuaikan dengan status social orang tua).
Ø  Pasal 81 menjelaskan bahwa mahar dapat diberikan secara kontan atau tangguh serta sebagian maupun keseluruhan.
Ø  Pasal 82 menjelaskan tentang tanggal pembayaran mahar yang sudah ditetapkan, maka istri tidak boleh menuntut sebelum waktunya walaupun mereka sudah bercerai. Jika tanggal pembayaran belum ditetapkan, maka harus dipenuhi walaupun sudah bercerai atau salah satu pihak meninggal.
Ø  Pasal 83 menjelaskan jumlah mahar yang sudah ditetapkan, jika sudah bercerai atau salah satu pihak meninggal, maka mahar harus dibayar penuh. Jika belum hubunngan badan dan telah bercerai maka wajib membayar setengah mahar.
Ø  Pasal 84 menjelaskan jumlah mahar yang belum ditetapkan, dan sudah melakukan hubungan badan, terjadi perceraian atau salah satu meninggal, maka harus bayar mahar sepantasnya. Jika belum hubungan badan, maka harus membayar mut’ah.
Ø  Pasal 85 menjelaskan jumlah mahar yang sudah ditetapkan, dari perkawinan tidak sah dan sudah hubungan badan, maka boleh membayar salah satu mahar yaitu mahar khusus yang sudah disepakati dan mahar mitsli. Jika belum hubungan badan, maka tidak wajib membayar mahar.
c.     Maroko
Mahar dalam undang-undang maroko doatur dalam bab ke IV pasal 16-24. 
Ø  Pasal 16 berisi tentang definisi mahar bahwa mahar digunakan untuk menunjukak keinginan suami melaksanakan akad nikah dan membangun keluarga.
Ø  Pasal 17 menjelaskan mahar adalah segala sesuatu yang sah menjadi obyek akad serta tidak ada batasan minimal ataupun maksimal mengenai mahar
Ø  Pasal 18 berisi bahwa mahar adalah mutlak menjadi kekayaan isteri
Ø  Pasal 19 disebutkna bhwa wali dilarang menerima sesuatu yag berkaitan dengan perkawinan anak perempuannya.
Ø  Pasal 20 menjelaskan mahar boleh kontan atau tangguh, keharusan membayar mahar adalah setelah bersenggama, serta  dua alasan isteri berak mendapat mahar, yakni karena kematian dan sudah bersenggama.
Ø  Pasal 21 menjelaskan isteri berhak menuntut mahar sebagai hutang suami yang menjadi haknya, tetapi ketidakmampuan suami membayar mahar tidak bisa mnejadi dasar perceraian.
Ø  Pasal 22 berisi tentang hak isteri mendapat bagian setengah mahar apabila suami menceraikan sebelum senggama, dan jika ssudah sengama demgam alas an suami cacat maka isteri berhak mendapat mahar penuh
Ø  Pasal 23 menjelaskan perempuan dewasa yang akan menikah dengan mahar kurang dari mistl, maka wali tidak boleh memaksa.
Ø  Pasal 24 berisi jika terjadi perselisihan tentang penerimaan mahar, maka jika belum berhubungan badan pendapat isteri yang diterima, namun jika sudah bersenggama maka pendapat suami yang diterima.
A.    Pengertian dan Hukum Mahar
            Dalam istilah ahli fikih, disamping perkatan “mahar” juga dipakai perkataan  :”shadaq ; nihlah; dan Faridhah”. Dalam bahasa Indonesia dipakai perkataan maskawin.[10] Sedangkan al-Qurtubi seoang mufassir membedakan nihlah dengan shadaq. Menurutnya nihah adalah pemberian yang penuh keikhlasandari suami tanpa mengharap balasan. Sementar shadaq berarti pemberian Allah bagi seorang wanita.
Adapun al-Maraghi mengartikan shadaq dengan mahar dan nihlah dengan pemberian tanpa mengharap balasan. Pengertian yang dimaksud adalah agar suami-suai memberikan mahar kepada wanita yang akan dinikahi sebagai pemberian yang ikhlas. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan mahar adalah nama suatu benda yang wajib diberkan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut dalam akad nikah sebagai pernyataan prsetujuan antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami isteri.[11]
Mahar merupakan hak isteri sepenuhya yang diberikan oleh suami sebagai penghalal hubungan mereka, sehingga mengenai bentuk dan  besar nominal sangat ditentukan oleh pihak isteri. Mahar adalah pemberian yang pertama dari calon suami kepada calon isteri sbagai cermin dari kebulatan tekadnya untuk hidup bersama. [12] jadi, bukanlah harga bagi seorang perempuan. Ini menunjukkan bahwa islam sangat memerhatikan dan menghargai kedudukan seorang perempuan dengan memberikan hak dalam menentukan penerimaan mahar .
Pada zaman jahiliyah, hak dan kedudukan perempuan tersebut disia-siakan. Mahar pada zaman jahiiyah tidak diberikan keada perempuan tetapi diberikan kepada ayahnya. Ayahnyalah yang berhak dan berwenang atas mahar itu. Islampun datang untuk menghapuskan kebiasaan yang sangat tidak menghargai kedudukan  seorang perempuan.
Mengenai hukum mahar madzhab Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya.[13] Sedangkan dalam madzhab hanafi menyatakan mahar adalah kwajiban tambahan dalam akad nikah dan sama statusya dengan nafkah.[14] Bahkan madzhab Malik mengatakannya sebagai salah satu rukun  nikah, maka hokum memberikaannya adalah wajib.
B.     Dalil-Dalil Tentang Mahar
Dalil tentang mahar banyak disebutkan baik dalam al-Qur’an maupun al-hadis. Antara lain:
1.      Al-Qur’an
a.       Surat al-Baqoroh: 236-237
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut-ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
b.      Surat al-Nisa’: 24

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“…….Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

c.       Surat al- Maidah : 5
 إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“……. bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”
2.      Al-Hadis
a.       عن سفيان عن ابي حازم عن سهل بن سعد ان االنبي صلعم قال الر جل تزوج ولو بخاتم من حديد  
Artinya: lakukanlah pernikahan meskipun maharnya hanya sebiji dari besi. (Bukhari)
b.      كان صداق النبي ص م لازوا جه اثني عشرة اوفيه ونشافذا لك خمسمائة  درهم
Artinya: jumlah mahar yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada istri-istrinya adalah 12 awqiyah atau sama dengan 500 dirham.
c.       Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memberikan mahar 20 ekor unta merah pada Khadijah, di riwayat yang lain 70 ekor,bahkan pada riwayat lain lagi sebanyak 100 ekor unta merah yang merupakan alat transportasi paling mewah di masa itu
d.       Ada pula seorang laki-laki yang tidak memiliki harta apa pun untuk diberikan sebagai mahar kepada calon istrinya, Rasulullah Saw. tidak menolak untuk menikahkannya dengan mahar berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihafalnya. Maka beliau pun bersabda, “Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal.” (disarikan dari hadits yang sangat panjang dalam Kitab Shahih Bukhari Jilid IV, hadits no. 1587)
e.       Hadis mengenai pernikahan Ummu sulaim dengan mahar keislaman suaminya yakni Abu Thalhah (masuk islam).
C.    Mahar di Masa Rasulullah
Merujuk pada beberapa dalil dalam al-Qur’an dan hadis yang telah disebutkan diatas,tidak ditemukan petujuk secara jelas mengenai batas minimal atupun maksimal mengenai jumlah mahar. Akan tetpai jika dicermati secara mendalam dalil-dalil diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mahar di masa Rasulullah Saw dan Sahabat berjumlah cukup besar. Rosul  sendiri yang hidupnya penuh kesederhanaan  memberi mahar untuk istrinya dengan jumlah yang cukup besar.
Pada hakikatnya mahar adalah harta bagi sang istri yang dapat dinilai dengan uang, bukan sekadar simbol belaka. Dengan harta atau uang tersebut, mahar dapat dikatakan memiliki fungsi ekonomi bagi seorang istri. Ia menjadi sebuah jaminan finansial bagi kehidupan sang istri kelak. Sehingga Pada  zaman sahabatpun berlaku, jika ia kaya, maka mahar yang diberikan adalah harta terbaiknya berupa kemewahan yang dimiliki. Begitu pula jika ia miskin, maka ia berikan harta terbaik yang ia miliki.
Berbagai riwayat tersebut menggambarkan bahwa Rasulullah Saw. dan para sahabat lebih memprioritaskan mahar yang memang berfungsi secara ekonomi, artinya yang memiliki nilai nominal. Akan tetapi, pada kondisi kemiskinan, di mana pihak laki-laki tak memiliki harta apa pun yang berharga untuk dijadikan mahar, ternyata mahar dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun dapat diterima, seperti cincin besi. Akan tetapi harus dengan diiringi keridhaan wanita yang akan dinikahinya.
D.    Mahar di Indonesia
Sudah menjadi tradisi yang salah kaprah bahwa perempuan Indonesia menganggap mahar hanya sebagai symbol belaka, sehingga mereka berkenan jika hanya diberi mahar seperangkat alat sholat, mushaf al-Qur’an dan sebagainya yang bernilai rendah jika di uangkan. Sedangkan dalam islam mengajarkan tentang berharganya kedudukan seorang perempuan sehinga dalam hal maharpun menjadi hak penuh yang diberikan calon suami untuknya dan sangat dianjurkan dalam jumlah besar atau bernilai tinggi.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suami yang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya. Padahal mahar adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya yang diberikan suami kepada istri
Mengenai adanya sebuah hadis yang menyatakan Dari Aisyah Ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya” perlu dipahami bagaimana sebab munculnya hadis tersebut hingga nabi berkata demikian. Hadis ini berkaitan adanya kebiasaan mahalnya mahar perempuan di zaman nabi yang tidak mau bergeming dengan mahar yang diajukannya. Fenomena demikian seharusnya dapat dipahami secara lebih dalam oleh perempuan Indonesia untuk mengetahui bagaimana sebenarnya islam mengajarkan tentang berharganya perempuan dan pentingnya mahar.











BAB III
KESIMPULAN

Pernikahan dalam islam memiliki memiliki tujuan hakiki yang mewujudkan mahligai rumah angga yang sakinah yang selalu dihiasi mawaddah dan rahmah. Sehingga pernikahan tersebut tidak terlepas dari ketetuan-ketentuan yang ditetapkan syari’at agama. Islam mengajarkan seorang laki-laki yang ingin menikah dengan seorang perempuan terlebih dahulu harus ada pinangan dari pihak laki-laki untuk melamar dijadikan calon isteri. Perempuan yang boleh dipinangpun terdapat beberapa criteria tertentu. Dalam ajaran ini memiliki tujuan agar kedua belah pihak bisa saling mengenal latar belakang dan keluarga masing-masing agar kelak tidak terjadi penyesalan dikemudian hari karena tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Begitupula dengan mahar, mahar merupakan salah satu syarat sah sebuah akad nikah yang pada zaman modern saat ini mulai mengalami pergeseran nilai. Pemberian mahar pada saat ini hanya dianggap sebagai salah satu bagian dalam ritualitas akad nikah. Hal ini bisa dilihat dari realita yang menjadi kebisaan umum masyarakat Indonesia bahwa pemberian mahar hanya sekedar seperangkat alat sholat dan mushaf al-Qur’an. Padahal dalam islam mengajarkan mahar adalah sesuatu yang bernilai sehingga nantinya mahar yang diterima oleh seorang istri akan menjadi harta pribadi milik sang istri, sehingga istri mempunyai hak penuh untuk mengelolanya tanpa harus tunduk atau dibawah perintah suami






DAFTAR PUSTAKA
Artikel Muhammad Dimas Sasongko
http//www. Keluarga Sakinah.com. diakses tanggal 15 maret 2011. Jam 10.15. WIB.
Kompilasi Hukum Islam (KHI). 2007
Muhdlor, Zuhdi.  Memahami Hukum Perkawinan. Bandung : Al-Bayan. 1994
Nasution, Khorudin. hokum perkawinan 1. yogyakarta : Tazaffa.  2005
Nur, Djamaan.  Fikih Munakahat . Semarang : Dina Utama Semarang. 1993
Sumiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. cet ke 5
            (uu No. 1 tahun 1974 tentang perawinan). Yogyakarta :  Liberti.  2004
Tihami dan sohari sahrani.  Fikih Munakahat Kajia Fikih Nikah Lengkap. Jakarta : Rajawali Press. 2010



[1] KHI, pasal 11-13
[2] Ny. Sumiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan(uu No. 1 tahun 1974 tentang perawinan), (Yogyakarta: Liberti, 2004 cet ke 5, hlm. 23
[3] I Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta :Rajawali Press,2010), Hlm. 25-26
[4] Ny. Sumiyati, ibid, hlm. 29
[5] Artikel Muhammad Dimas Sasongko
[6] ibid
[7] KHI, pasal 30-36
[8] Khorudin Nasution, hokum perkawinan 1,(yogyakarta : Tazaffa, 2005), hal. 150-151.
[9] Ibid..hal 151.
[10] Tihami dan sohari sahrani, Fikih Munakahat Kajia Fikih Nikah Lengkap (Jakarta :Rajawali Press, 2010), hal 36
[11] Djamaan Nur, Fikih Munakahat (Semarang :Dina Utama Semarang, 1993), hal 81
[12]Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung :Al-Bayan, 1994) hal. 44
[13] Tihami …hal 3.
[14] Khairudin Nasution….hal. 139