15 Feb 2011

Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.
Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia, diantaranya:
1. Berbahaya bagi akhlak dan kejiwaan manusia.
kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu sehingga dapat mengambil hutang dari debitor. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi (pemberi pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.
2. bahaya dalam kemasyarakatan dan sosial.
Riba memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.
Seorang dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail dalam kitabnya berjudul Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran modern) menyatakan bahwa Riba adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung. (Al-Riba Wa Mua’malat al-Mashrofiyah hal. 172)
3. Bahaya terhadap perekonomian.
Krisis ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.
Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah izin Allah- dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain
Riba juga menjadi sarana kolonial (penjajahan). Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu pantaslah bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاء
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Melihat bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi kita untuk mengetahui hakikat Riba, agar tidak terjerumus padanya.

Definisi Riba
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian “tambahan atau pertumbuhan”. Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    •       
“Kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.”

2. Pengertian Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitive:
a. Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhl: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komoditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.
b. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
c. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah terima langsung.
Kalau emas dijual dengan perak, atau Rupiah dengan Dollar misalnya, harus ada serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama lain memberikan definisi:
تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْض
“Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya”
Ada juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.”
Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
“Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at.” (Syarhul Mumti’8/387)




Jenis Riba
Para ulama membagi Riba mejadi 2, yaitu:
1. Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard (hutang), yaitu pertambahan dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran (Al Hawafiz Al Taswiqiyah 39). Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:

وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus.” (HR Muslim).
Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang tanpa imbalan.(Lihat Majmu’ fatawa 29/419, I’lam
AlMuwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40)

Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah
Pada masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:
Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya.”
Misalnya, seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan.” Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Qatadah menyatakan: “Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’ menuturkan: “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: “Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya.” Maka turunlah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imran: 130)
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in: “Adapun riba yang jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.” (Lihat I’laamul Muwaqqi’ien oleh Ibnul Qayyim 2/ 135)
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: “Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata: “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?” Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashash menyatakan: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 465) Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 67)
Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (kredit bulanan)
Fakhruddin Ar-Razi menyatakan “Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah.” (Tafsir Ar-Raazi 4/ 92)
Ibnu Hajar Al-Haitsami menyatakan: “Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.” (Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil Kabaa-ir 1/222)
2. Riba jual beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhl. Komoditi riba fadhl yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Riba jual beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasii-ah.
1. Riba Fadhl
Kata Fadhl dalam bahasa Arab bermakna Tambahan, sedangkan dalam terminologi ulama adalah
الزيادة في أحد الربويين المتحدي الجنس الحالين
(Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan).
Atau ada yang mendefinisikan dengan:
Kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhl atau tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya. Seperti menukar 20 gram emas dengan 23 gram emas juga. Sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual beli komoditi riba fadhl.
Riba Fadhl ini dilarang dalam syariat islam dengan dasar:
a. Hadits Ubadah bin Shaamit radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”. (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)
b. Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ }
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan bera,t dan jangan menjual yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan yang ada.” (H
Al BukhariSedangkan dalam Shahih Muslim berbunyi:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ }
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung. Barang siapa yang menambah atau minta tambahan maka telah berbuat riba, yang mengambil dan memberi hukumnya sama.”
c. Hadits Al Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata:
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual beli perak dengan emas secara tempo (hutang)”. (HR Al Bukhari).
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam banyak hadits dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh As-Subki dalam Takmiltul Majmu’, yakni sejumlah dua puluh dua hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhl. Ada yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.

5 Feb 2011

“segar kopinya… mantap susunya” itulah sepenggal lirik yang dinyanyikan Julia Peres. Dengan gaya melenggak-lenggok ia mengiklankan produk minuman kepada masyarakat Indonesia. Terlepas dari suka atau tidak suka terhadap produk itu tapi yang jelas masyrakat Indonesia telah menyaksikannya. Melihat artis seksi yang sering tertimpa gosip itu memamerkan dagangan.
Cerita di atas adalah potret dari sekian banyak gemerlap periklanan di media elektronik kita. Dan belakangan ini Menampilkan vigur rupawan untuk menarik perhatian konsumen makin marak. Hal itu telah dipraktekan di hampir semua jenis periklanan. Mulai dari iklan shampoo, sabun mandi, hand and body, perlengkapan bayi sampai iklan minuman ringan. Bahkan sekarang ia menjadi trend periklanan.
Namun Setelah diamati ternyata iklan-iklan audio visual itu kian kebablasan. Selain menghadirkan vigor, produser periklanan juga mengekploitasi keindahan tubuh sang tokoh infotainment yang kebanyakan didominasi oleh kaum hawa. Maka tak ayal kita sering mendapati model penawaran produk yang sebenarnya keluar dari konteksnya atau dengan bahasa lain model periklanan yang “memaksa”. Misal Apa hubungannya minum jus dengan tubuh seksi, sepeda motor dengan wanita cantik. Bahkan yang lebih lucu lagi penawaran produk bayi namun malah menampilkan sosok ibunya yang relative masih sangat muda. Oleh karena itu sesunggguhnya kaum wanita lah yang menjadi korban ide “nakal” sang produser. Karena Menjadikan keindahan tubuhnya sebagai bungkus dagangan.
Tayangan berdurasi singkat tersebut telah memberikan dampak besar bagi masyarakat sebagai penikmat TV. Oleh karena itu harus ada control power agar dalam perjalanannya menjadi lebih profesional. Sosok Wanita yang mendominasi vigor periklanan seharusnya ditempatkan pada posisi yang lebih mulia. Menampilkan sosok keanggunan, keibuan dan intelektualitas menjadi tema utama. Sehingga kedepannya periklanan tidak hanya menwarkan produk tetapi juga memberikan pesan moral kepada masyarkat.
(agus purnomo, pengamat media)

3 Feb 2011


I. Konsep dan Perikatan Dalam Hukum Barat
A. Konsep Perikatan
Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum perikatan (het verbintenissenrecht). Sedangkan hukum perjanjian (het overeenkomstenrecht) adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya. “Perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu.”

B Sumber-Sumber Perikatan
Sumber-sumber yang melahirkan perikatan meliputi:
1. perjanjian
2. undang-undang saja, perikatan yang lahir dari undang-undang saja adalah perikatan yang kewajiban di dalamnya langsung diperintahkan oleh undang-undang seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam hal nafkah, dsb.
3. undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan orang, yang dibedakan menjadi :
• perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad)
• perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)

II. Istilah dan Konsep Perikatan dalam Hukum Islam
Ada dua istilah yang terdapat dalam Islam berkaitan dengan perikatan.
a. Iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis).
Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara umum. Semula iltizam digunakan untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai untuk perikatan yang timbul dari perjanjian. Sekarang ini iltizam digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Pengertian iltizam dalam hukum Islam adalah terisinya dzimmah (tanggungan) seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain. Menurut Mustafa Az Zarqa mendefinisikan perikatan (iltizam) sebagai keadaan dimana sesorang diwajibkan menurut hukkum syara’ untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain.
b. Akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan kontrak (contract) yang merupakan istilah yang telah lama digunakan.

Ada dua orientasi hukum perikatan:
a. orientasi yang bercirikan objektivisme, yaitu perikatan lebih dilihat dari sisi objeknya yang berupa hak dan kewajiban yang timbul dalam perikatan. Dalam hukum objektivisme penggantian subjek atau pemindahan hak-hak perikatan dari satu subjek ke lainnya dapat dilakukan dengan mudah, karena yang menjadi fokus adalah objeknya.
b. orientasi yang bercirikan subjektivisme, yaitu perikatan lebih banyak dilihat pada segi hubungan antar subjek perikatan yaitu debitur dan kreditur dari segi objek perikatan itu sendiri. Konsekuensinya adalah jika terjadi perikatan antara dua pihak atau lebih, maka tidak dapat dilakukan penggantian dengan pihak lain.

III. Macam-Macam Perikatan dalam Hukum Islam
Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:
a. Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain)
Kunci untuk memahami memahami konsep utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya adalah sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang timbul dari selain akad, seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat adalah pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan syariah yang menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu pada seseorang.
b. Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
Perikatan benda merupakan suatu hubungan hukum yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, manfaatnya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling penting dari perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum juga dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.
c. Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal)
Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah. Istisna’ adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (perjanjian kerja).
d. Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan perikatan orang yang ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs.

IV. Sumber-Sumber Perikatan dalam Hukum Islam
Menurut para ahli hukum Islam modern, sumber-sumber perikatan dalam Islam (masadir al iltizam) ada lima macam :
a. akad (al ‘aqad), akad dalam hukum Islam merupakan sumber penting bagi perikatan.
b. Kehendak sepihak (al iradah al munfaridah)
c. Perbuatan merugikan (al fi’l adh dharr)
d. Perbuatan bermanfaat (al fi’l an nafi’)
e. Syara’

V. Dzimmah dalam Hukum Perikatan Islam
Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa dzimmah adalah suatu wadah yang diandaikan adanya oleh hukum syariah pada orang (person) dan yang menampung hak-hak serta kewajiban-kewajiban.
Dzimmah pada orang mewujud selama ia hidup dan berakhir dengan kematiannya. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang berakhirnya dzimmah dengan kematian seseorang, apakah dzimmah-nya harus dihapus sama sekali ketika ia meninggal dunia ataukah dzimmah itu masih bertahan beberapa waktu setelah meninggalnya. Ahli-ahli hukum Hanafi berpendapat bahwa dzimmah karena kematian seseorang tidak musnah sama sekali tetapi tidak pula bertahan utuh, melainkan melemah atau rusak. Ahli hukum Maliki berpendapat bahwa dzimmah musnah dengan kematian seseorang. Ahli hukum Syafi’i berpendapat bahwa dzimmah tetap berlangsung utuh setelah meninggalnya seseorang sampai utang-utangnya dibayar. Sedangkan menurut madzab Hambali, sebagian ahli hukumnya sejalan dengan ahli hukum Maliki dan sebagian lagi sependapat dengan fukaha Syfi’iyah.

VI. ‘Ain dan Dain dalam Hukum Perikatan Islam
‘Ain adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung dengan benda tertentu, bukan benda lain. Dalam hukum Islam, ‘ain disamping mencakup hak kebendaan dala pengertian hukum barat meliputi pula hak-hak yang timbul dari perikatan yang objekya benda tertentu. Sedangkan dain adalah hak-hak yang tdak dikaitkan langsung kepada benda atau sesuatu tertentu, melainkan kepada sejumlah uang atau benda yang berada dalam tanggung jawab pihak debitur.
Contoh: apabila seseorang mempunyai koleksi sejumlah mata uang asing atau kuno, dan untuk keamanan ia menyerahkan ke sebuah bank dengan maksud untuk disimpan dalam safety box sebagai barang titipan yang pada suatu waktu akan diambil kembali fisik uangnya, maka perikatan orang tersebut dengan bank dan hak pemilik uang atas uangnya tersebut yang wajb dikembalikan fisiknya oleh bank adalah ‘ain. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito misal selama satu bulan, maka haknya atas uang tersebut pada waktu jatuh tempo adalah dain.
Dari contoh diatas, maka dapat dtarik kesimpulan bahwa keterkaitannya dengan dzimmah, dapat ditegaskan bahwa dain adalah suatu yang hak yang objeknya sejumlah uang atau benda dan terkait dengan dzimmah debitur. Sedangkan ‘ain adaah hak yang objeknya adalah benda yang sudah ditentukan, bukan benda lainnya serta tidak terkait kepada dzimmah.
PERIKATAN DALAM HUKUM ISLAM
(BAB II)
RESUME

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Drs. H. Asmuni, M A









DISUSUN OLEH:

HARI PRIHAT ISTIANTI 07913005
MUHAMMAD NASRULLAH 07913010



PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2008


A. Pendahuluan
Suatu akad harus memenuhi unsur-unsur pokok dan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Syarat-syarat akad bermacam-macam, yaitu :
1. Syarat-syarat terbentuknya akad
2. Syarat-syarat keabsahan akad
3. Syarat-syarat berlakunya akibat hukum akad
4. Syarat-syarat mengikatnya akad
Rukun (unsur) akad, meliputi empat macam dalam doktrin hukum Islam kontemporer, yaitu :
1. Para pihak yang membuat akad.
2. Pernyataan kehendak atau pernyataan perizinan (yang meliputi ijab dan Kabul)
3. Objek akad
4. Tujuan akad
Masing-masing rukun tersebut memerlukan syarat-syarat agar dapat membentuk akad yang kemudian disebut syarat-syarat terbentuknya akad, yaitu :
1. Tamyiz (berakal)
2. Berbilang pihak; kedua syarat ini merupakan syarat dari rukun pertama)
3. Persesuaian ijab dan Kabul
4. Kesatuan majlis akad; syarat 3 dan 4 merupakan syarat dari rukun yang kedua
5. dapt diserahkan
6. tertentu atau dapat ditentukan
7. dapat diperdagangkan; syarat 5, 6 dan 7 merupakan syarat dari rukun yang ketiga
8. tidak bertentangan dengan syarak
Meskipun sudah terbentuk akad, tetapi belum menjadi sah, apabila belum memenuhi beberapa kualifikasi lagi untuk sahnya akad, yaitu :
1. bebas dari gharar
2. bebas dari kerugian yang menyertai penyerahan
3. bebas dari syarat-syarat fasid
4. bebas dari riba untuk akad atas beban
Akad yang sah ada kemungkinannya tidak dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena tidak terpenuhinya beberapa syarat berlakunya akibat hukum akad, yaitu :
1. adanya kewenangan atas objek (asset yang menjadi objek)
2. adanya kewenangan terhadap tindakan hukum yang dilakukan.
Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syarat yang dimaksud tidak terpenuhi.
Dalam mazhab Hanafi tingkat kebatalan dan keabsahan itu dibedakan menjadi 5 tingkatan, yaitu :
1. akad batil
2. akad fasid
3. akad maukuf
4. akad nafiz gair lazim
5. akad nafiz lazim
Keseluruhan akad dalam berbagai tingkat kebatalan dan keabsahan sebagaimana tersebut diatas dibedakan menjadi dua golongan pokok, yaitu :
1. akad yang tidak sah, yang meliputi akad batal dan akad fasid
2. akad yang sah dengan tiga tingkatan, yaitu akad maukuf, akad nafidz gair lazim (akad yang sudah dapat dilaksanakan akibat hukumnya, akan tetapi belum mengikat penuh karena salah satu pihak atau keduanya masih dapat membatalkannya secara sepihak) dan akad nafidz lazim (akad yang sudah dapat dilaksanakan akibat hukumnya dan telah mengikat penuh).

B. Akad Batil (Batal)
1. Pengertian
Dalam bahasa aslinya batal dengan batil mempunyai arti yang berbeda. Batal adalah bentuk masdar dan berarti kebatalan, sedang batil adalah kata sifat yang berarti tidak sah, tidak berlaku.


2. Hukum Akad Batil
Hukum akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat terbentuknya akad, dapat diringkas sebagai berikut :
a. Bahwa akad tersebut tidak ada wujudnya secara syar’i (secara syar’i tidak pernah dianggap ada), ada oleh karena itu tidak melahirkan akibat hukum apa pun. Para pihak tidak dapat menuntut kepada yang lain untuk melaksanakan akad tersebut. Pembeli tidak dapat menuntut penyerahan barang dan penjual tidak dapat menuntut harga.
b. Bahwa apabila telah dilaksanakan oleh para pihak, akad batil itu wajib dikembalikan kepada keadaan semula pada waktu sebelum dilaksanakannya akad batil tersebut.
c. Akad batil tidak berlaku pembenaran dengan cara memberi izin misalnya, karena transaksi tersebut didasarkan kepada akad yang sebenarnya tidak ada secara syar’I dan juga karena pembenaran hanya berlaku terhadap akad maukuf.
d. Akad batil tidak perlu di-fasakh (dilakukan pembatalan) karena akad ini sejak semula adalah batal dan tidak pernah ada. Setiap pihak yang berkepentingan dapat berpegang kepada kebatalan itu, seperti pembeli berpegang terhadap kebatalan dalam berhadapan dengan penjual dan penjual berhadapan dengan pembeli.
e. Ketentuan lewat waktu (at-taqadum) tidak berlaku terhadap kebatalan. Apabila seseorang melakukan akad jual beli tanah, misalnya, dan akad itu adalah akad batil, dan penjual tidak menyerahkan tanah itu kepada pembeli, kemudian lewat waktu puluhan tahun, dimana pembeli menggugat kepada penjual untuk menyerahkan tanah tersebut, maka penjual dapat berpegang kepada kebatalan akad berapa pun lamanya karena tidak ada lewat waktu terhadap kebatalan.





C. Akad Fasid
1. Pengertian
Kata “fasid” berasal kata Arab dan merupakan kata sifat yang berarti rusak. Kata bendanya adalah fasad dan mafsadah yang berarti kerusakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan, “fasid: suatu yang rusak, busuk (untuk perbuatan, pekerjaan, isi hati).
Fasid, menurut ahli hokum Hanafi, adalah akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya. Perbedaannya dengan akad batil adalah bahwa akad batil tidak sah baik pokok maupun sifatnya.

2. Hukum Akad Fasid
a. Pendapat Mayoritas (Jumhur)
Mayoritas ahli hukum Islam, Maliki, Syafi’i dan Hambali, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid. Keduanya sama-sama merupakan akad yang tidak ada wujudnya dan tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Ketidaksahannya disebabkan oleh karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak
b. Pandangan Mazhab Hanafi
Teori akad fasid merupakan kekhususan mazhab Hanafi, yang membedakan akad batil dan akad fasid. Akad batil sama sekali tidak ada wujudnya dan tidak pernah terbentuk karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syarat terbentuknya akad. Sedang akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’I, hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya karena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan akad.
Hukum akad fasid dibedakan antara sebelum dilaksanakan (sebelum terjadi penyerahan objek) dan sesudah pelaksanaan sesudah terjadi penyerahan objek):
1) Pada asasnya, akad fasid adalah akad tidak sah karena terlarang, dan pada asasnya tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak pula dapat diratifikasi, bahkan masing-masing pihak dapat mengajukan pembelaan untuk tidak melaksanakannya dengan berdasarkan ketidaksahan tersebut, dan akad fasid wajib di-fasakh baik oleh para pihak maupun oleh hakim.
2) Sesudah terjadinya pelaksanaan akad (dalam pelaksanaan berupa penyerahan suatu benda, maka sesudah penyerahan benda dan diterima oleh pihak kedua), akad fasid mempunyai akibat hokum tertentu, yaitu, menurut mazhab Hanafi, dapat memindahkan hak milik. Hanya saja, hak milik ini bukan hak milik sempurna dan mutlak, melainkan suatu pemilikan dalam bentuk khusus, yaitu penerima dapat melakukan tindakan hukum terhadapnya, tetapi tidak dapat menikmatinya.

D. Akad Maukuf
1. Pengertian
Kata “maukuf’ diambil dari kata Arab, mauquf, yang berarti terhenti, tergantung, atau dihentikan. Ada kaitannya dengan kata maukif yang berarti “tempat perhentian sementara, halte.” Bahkan satu akar kata dengan “wakaf”. Wakaf adalah tindakan hokum menghentikan hak bertindak hokum si pemilik atas miliknya dengan menyerahkan milik tersebut untuk kepentingan umum guna diambil manfaatnya.

2. Sebab Akad Menjadi Maukuf
Sebab kemaukufan akad ada dua, yaitu :
1) tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hokum yang dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan
2) tidak adanya kewenangan yang cukup atas objek akad karena adanya hak orang lain pada objek tersebut.
Para pihak yang akadnya maukuf karena tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan yang mereka lakukan adalah :
a. mumayyiz (remaja yang belum dewasa)
b. orang sakit ingatan yang kurang akalnya dalam memahami tindakannya, tetapi tidak mencapai gila
c. orang pander yang memboroskan harta kekayaannya, yang dalam hukum Islam disebut safih.
d. Orang yang mengalami cacat kehendak karena paksaan (bagi pendapat yang menjadikan paksaan sebagai sebab maukufnya akad, bukan sebab fasidnya akad).



Hukum Akad Nafidz Gair Lazim
Terdapat beberapa macam akad yang memang sifat aslinya terbuka untuk di-fasakh secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lain. Disamping itu, terdapat pula akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar (opsi) untuk meneruskan atau mem-fasakh akadnya, baik karena hak opsi (khiyar) itu dimasukkan dalam perjanjian sebagai bagian dari klausulnya, maupun karena ditetapkan syarak.

a. Akad yang sifat aslinya terbuka untuk di-fasakh secara sepihak
Ada beberapa akad dalam hukum Islam yang sifat asli akad tersebut tidak mengikat, baik kedua belah pihak maupun salah satu pihak, sehingga dapat di-fasakh secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini sering pula disebut akad jaiz. Termasuk akad yang sifat aslinya tidak mengikat kedua belah pihak adalah akad wakalah (pemberi kuasa), syirkah (persekutuan), akad hibah, akad wadiah (penitipan), dan akad ariah (pinjam pakai). Termasuk akad yang hanya mengikat satu pihak dan tidak mengikat kepada pihak lain adalah akad gadai (ar-rahn) dan akad kafalah (penangguhan).

b. Beberapa macam khiyar
Ada banyak jenis khiyar dalam akad. Sebagiannya terkait dengan sifat akad sehingga membuat akad tidak mengikat secara penuh, antara lain :
1) khiyar syarat, yaitu (hak opsi) yang disyaratkan oleh salah satu atau kedua belah pihak dalam akad bahwa mereka mempunyai hak untuk membatalkan akad dalam waktu tertentu dan jika tidak dibatalkan selama waktu itu, maka akadnya berlangsung (tidak batal).
2) Khiyar at-ta’yin (opsi penentuan), yaitu suatu opsi yang diajukan sebagai klausul dalam perjanjian biasanya oleh pihak keduanya bahwa objek perjanjian itu terdiri beberapa macam yang dapat dipilih untuk ditentukan olehnya.
3) Khiyar ar-ru’yah (opsi setelah melihat), yaitu khiyar (opsi) yang dimiliki oleh pihak yang ketika melakukan transaksi belum mengetahui objeknya, sehingga ketika ia melihat objeknya ia mempunyai opsi untuk membatalkan akad atau meneruskannya.
4) Khiyar al-‘aib (opsi cacat), yaitu khiyar (opsi) yang dimiliki oleh pihak kedua untuk mengembalikan objek perjanjian apabila ternyata mengandung cacat. Khiyar cacat tidak diperjanjikan, melainkan merupakan ketentuan undang-undang syarak.
meski demo mesir berkecamuk dahsyat. namun demonstran yang menuntut Husni mubarok untuk lengser dari jabatan presiden itu tidak melupakan sholat wajib...Allahu Akbar...
terus maju...KAMMI mendukungmu
 “judi… meracuni keimanan” itulah penggalan lirik yang didendangkan oleh Roma Irama. Bang roma, demikian sapaan akrabnya,  pernah menjadi ikon music dangdut tanah air pada era 80an karena liriknya yang merdu dan sarat pesan moral. Dengan sonetanya music dangdut kian digemari masyrakat Indonesia. Baik itu masyarakat perkotaan, pinggiran apa lagi di pedesaan.  
Seiring perkembangan zaman aliran music kian beragam. Jika di era 8o an  ia didominasi oleh dangdut namun kini kita mendapati aliran music pop, rok, jaz, rege, hip hop dan lain sebagainya. Pada dasarnya hal tersebut harus disambut positif karena menandakan berkembangnya kreatifitas anak bangsa di bidang seni tarik suara it
Namun demikian music yang dulu hanya sekedar hiburan kini membawa sesuatu yang berbeda. Kini ia membawa budaya dan system yang justru mengantarkan anak bangsa menuju keterpurukan. Lagu-lagu pop Indonesia yang didominasi tema-tema cinta, kekerasan, pembangkangan telah menginspirasi kaum muda untuk bertindak  amoral. Bahkan yang lebih parah lagi adalah pergeseran music dangdut  dari “khitohnya”. Lagu yang dulu sempat menjadi tuntunan itu kini hanya sekedar tontonan. Bahkan lagu dangdut sudah identik dengan tarian eksotis dan tidak lagi mengedepankan keindahan suara.   
Di sisi lain kehadiran music dewasa juga telah menggeser industry music untuk anak kecil. akibatnya Lagu-lagu pop tidak hanya dinyanyikan oleh orang dewasa dan orang tua saja, tetapi juga didendangkan oleh anak SD bahkan TK. Dan hal itu semakin disukseskan oleh program-program infotainment pengembangan bakat yang memaksa anak-anak menyanyikan lagu dewasa. Akhirnya lagu anak-anak yang identik dengan cita-cita, petriotisme, kesusilaan semakin termarjinalkan dan lenyap. Anak-anak yang masih ingusan itu lebih suka menyanyikan lagu “senangnya dalam hati.. punya istri dua” milik musisi terkenal Ahmad Dani. Atau lagu “kucing garong” milik trio macan.
Sebenarnya masih banyak lagi dampak bruk yang akan terjadi akibat semakin meraja lelanya industry music hari ini. Namun demikian sebagai seorang muslim tentu saja tidak akan tinggal diam dan membiarkan virus generasi masa muda itu berlarut. Karena akan mengakibatkan kerusakan moral, luturnya budaya bangsa dan relijiusitas. Selain itu music yang tidak mendidik akan melahirkan generasi yang gaptek (gagap teknologi), tidak peka zaman, dan apatis. Oleh karena itu upaya yang perlu dialakukan adalah:
1.      Melakukan filter terhadap generasi muda.
Secara lebih spesifik ini adalah tugas dari pada orang tua. Membimbing anak-anaknya agar slektif dalam memilih jenis lagu. Upaya ini harus dilakukan sejak dini dan kontinyu. Sehingga anak-anak akan terbiasa bahkan menyadarinya.
2.      Merancang undang-undang
Kerusakan moral akibat music yang tidak mendidik selain harus dipahami oleh masyrakat juga harus dipahami oleh pemerintah. Oleh Karena itu para wakil rakyat itu harus melegislasi undang-undang yang mngatur kode atik indutri permusikan.
3.      Memunculkan music alternative
Ini adalah upaya riil yang harus dilakukan semua pihak terutama kalangan seniman dan musisi. Artinya tidak cukup memfilter generasi muda akan lagu yag tidak bernutu saja tetapi juga harus memberikan music alternative. Karena secara fitrah manusia itu menginginkan seni oleh karena itu kita tidak mungkin membendungnya tetapi harus mngarahkan bahkan mengakomodirnya. Memnghadirkan music-musik yang relijius, akademis, patriotis dan futuristic adalah solusi yang realistis dan logis.

Membangun bangsa bukanlah tugas pemerintah saja tetapi juga merupakan tanggung jawab semua pihak. jika ini dipahami maka ide-ide besar membangun bangsa akan segera muncul kepermukaan sejarah. Baik itu dalam wujud ekonomi, mileter, pendidikan maupun seni. Seni tarik suara (musik) merupakan ladang subur untuk menyeting pola fikir generasi muda. Ia hadir bukan untuk mengguri tetapi mengajak layaknya teman bermain. Oleh Karen itu seorang muslim wajib memaksimalkan peluang besar ini. Menjelaskan narasi besarnya akan peradaban melalui lantunan music. Sehingga paradigma music “nada dan dawah” yang diperjuangkan Bang Roma Irama akan kembali lagi kemasa ini.

2 Feb 2011

Jadwal Harian
1. Selesai Subuh sampai terbitnya matahari
• Menghafal lima ayat Al-Qur’an, satu hadist, dan kesimpulan ringkas dari sebuah matn
2. Dari terbitnya matahari hingga waktu dzuhur : belajar formal, pergi ke kantor, bekerja, atau berdagang, dan sempatkan diri untuk sholat Dhuha
3. Selesai Dzuhur : membaca sejarah, sastra, berita, online, makan, dan tidur siang.
4. Selesai Ashar :Membaca buku-buku kitab, Tafsir, Fiqh, Risalah-risalah, Shiroh Nabi dan sahabat, dan sebagainya
5. Selesai Magrib : mengulang hafalan Qur’an, hadist, dan matn
6. Selesai Isya : mengulang pelajaran dari sekolah, mengerjakan tugas kuliah ataupun kantor, Menulis
7. Makan malam
8. Jangan lupa sebelum tidur, sempatkan diri untuk Sholat Witir tiga raka’at
9. Instropeksi Diri dalam sehari, hal-hal apa yang telah dilakukan, melakukan kesalahan apa saja, ibadah apa yang terlailaikan dan sebagainya. (Kalau bisa di catat)
10. Istighfar 3x, berniat untuk tidak melakukan kesalahan yang sama
11. Hamdalah 3x, bersyukur akan Ni’mat hari yang telah di berikan
12. Targetkan aktivitas besoknya, tancapkan dalam hati dan katakan Allahu Akbar
13. Niatkan bangun di sepertiga malam terakhir dan tidur

Jadwal pekanan

1. Sempatkan puasa Sunnah minimal sepekan sekali, missal hari Senin atau Kamis
2. Sehari dalam sepekan untuk bersilahturrahim kepada kerabat, sahabat ataupun tetangga, missal hari Rabu
3. Porsikan waktu khusus untuk keluarga, missal Hari Ahad
4. Hari Jum’at untuk mengahayati Al-Qur’an, berdzikir, berdo’a, Sholat sunnah, perbanyak shalawat kepada Rasulullah, waktu untuk sedekah, instropeksi diri dalam sepekan, dan menata kembali harapan-harapan. (Lebih baik di catat)

Jadwal Bulanan

1. Puasa sunnah Ayyamul bidh tiga hari, di pertengahan bulan hijriyyah, tgl 13,14 dan 15
2. Pada hari tertentu dalam sebulan, sempatkan untuk I’tikaf di Masjid (For Ikhwan, Kalau akhwat cukup di rumah aja, atau bersama pasangannya). Gunakan moment ini sebagai instropeksi Diri dalam sebulan, mengumpulkan catatan-catatan instropeksi harian, dan muhasabah.
3. Perbaiki planning yang sempat gagal, buang segala ketidak mungkinan, ambil langkah pasti kedepan, mulailah dengan segala hal yang di anggap mudah.

Hiburan
Hiburan bagi seorang pembelajar, adalah hiburan yang baik, yang tetap menjaga nilai-nilai syar’i, sehingga ilmu lebih mudah untuk masuk.,
1. Lebih baik dengerin Murrotal,
2. Variasikan dengan lagu-lagu islami jika merasa jenuh.
3. Hati-hati menonton TV, pada iklan-iklan sabun, atau perawatan kecantikan, yang lebih pada mengumbar aurat, (jaga pandangan bung… :D) , atau lebih baik gak usah Nonton TV. ^_^
4. Jaga pandangan bukan hanya pada akhwat dan di tempat umum saja, di tempat pribadi, bahkan ketika sendiri (hati-hati, setan selalu menemani hihihihi)
5. Porsi waktu Online jangan berlebihan. Gunakan fasilitas semaksimal mungkin untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru




NB :
• Referensi : Menjadi Pembelajar Berprestasi – DR. ‘Aidh Al-Qarni
• Ini untuk menasehati diri sendiri dalam menggunakan waktu, jika bermanfaat silahkan di share dan di sesuaikan dengan kondisi pribadi
• Semoga bermanfaat dan kita dapat mengamalkannya

1 Feb 2011

Era reformasi disebut-sebut sebagai pintu terbukanya gerbang demokrasi secara lebih subtantif. Karena ia membawa angin segar bagi kebebasan berfikir masyarakat indonesia. Terutama pada kebebasan berpendapat dan berserikat. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada era reformasi media mendapatkan momentumnya. Media yang sempat dikerdilkan pada masa orba, kini tumbuh subur di era reformasi. Dan pada hari ini media cetak dan elektronik menghiasi keseharian kita. Baik dalam skala nasional maupun daerah. Jika dahulu media cetak lebih marak, kini media elektronik lebih mendominasi masyarkat indonesia. Mulai dari radio, televisi bahkan internet seperti blog, FB, tweeter dll.
Hadirnya begitu banyak media memang harus mendapat apresiasi oleh masyarakat. Pasalnya selain sarana memperoleh informasi, media juga membawa keceriaan paada masyarkat. dengan berbagai jenis infotainment. Namun demikian benarkah media hari ini layak dikatakan sebagai bagian dari proses pembagunan nasional?. Ini lah pertanyaan besarnya. Dan di siniah ironisnya. Teman yang membersamai keseharian kita ternyata patut kita curigai dan dikritisi keberadaanya.
Generasi pahlawan (baca: pemuda) yang optimistis kini menjadi pesimistis karena terus mengkonsumsi berita-berita negatif. Pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan kemiskinan menjadi santapannya setiap hari. Seolah-olah duniia ini dipenuhi oleh keburukan dan tidak ada lagi harapan. Dari segi perusakan moral,dalam hal ini infotainment juga harus bertanggung jawab. Tayangan-tayangan yang tidak layak dikonsumsi publik begitu masive di perbincangkan. Gonta-gonti pasangan, mode pakaian terbuka, kasus perselingkuhan, perceraian, bahkan pergaulan bebas mendominasi pemberitaan infotainment. Dan tindakan itu pula lah yang diikuti oleh masyarakat. Hedonis, individual dan cari sensasi segera mengakar pada otak generasi muda. Wajar saja jika infotainment sering disemprit (ditegur) oleh KPI.
Media seolah-olah menjadi mesin perang yang menginvasi pola fikir manusia. Dalam skala besar media telah melakukan pembodohan masal terhadap umat. Sebuah kebijakan pemerintah bisa terlaksana atau tidak juga bergantung pada media. media bak menjadi hakim dalam pengadilan, atau pemain dalam suatu pertandingan. Bukan lagi sebagai komentator apa lagi penonton. Ratting menjadi pertimbangan utama sebuah program televisi layak terus ditayangkan atau tidak. Baik-buruknya sebuah program bukan lagi menjadi pertimbangan. Sehingga masyarakat pun berprilaku bukan atas dasar benar atau tidak benar tapi karena legal atau tidak legal.
Sebagai seorang muslim, realita tersebut harusnya tidak membuatnya pesimistis. Tapi menjadi pijakan untuk menentukan sikap dan bertindak, Dalam rangka melakukan perbaikan. Selain tindakan persuasif sebagai filter terhadap masyarakat akan dampak buruk media. Tindakan yang lebih efektif dan masif haruslah dilakukan. Mempersiapkan generasi yang handal dalam pengelolaan media adalah keniscayaan. Bahkan ia adalah kebutuhan mendesak pada saat ini. Generasi yang digarapkan secara garis besar harus menguasai dua aspek. Yang pertama ia harus kompeten dalam penguasaan media. Komptensi adalah ukuran profesionalitas. Tidak sekedar untuk eksistensi sebuah lembaga (media) tapi juga dalam rangka ekspansi dan persaingan. Dan yang kedua ia harus mumpuni dalam ilmu keislaman. Karena ia adalah ruh da’wah. Ia akan mengawal kerja-kerja profesional agar beredar pada orbitnya (sesuai syariah). jika dua aspek tersebut melekat pada diri seorang muslim, media yang ideal akan lahir. Media yang bergerak atas dasar tanggung jawab. Bertindak atas dasar kesadaran dan kemaslahatan dalam rangka kerja bersama mengawal pembagunan nasional.

NB: Afwan bahasanya kacau...di edit nggeh...
Bangkit itu susah, susah melihat orang lain susah
Bangkit itu senang, senang melihat orang lain senang….

Bangkit itu takut, takur korupsi, takut memakan yang bukan haknya
Bangkit itu mencuri, mencuri perhatian dunia dengan prestasi
Bangkit itu marah, marah melihat martabat bangsa dilecehkan..!!!!

Bangkit itu malu, malu menjadi benalu, malu karena minta melulu
Bangkit itu tidak ada, tidak ada kata menyerah, tidak ada kata putus asa
Bangkit itu aku, aku untuk Indonesia ku………

--dedi mizwar--