28 Jan 2012

Hari ini cukup istimewa bagi saya. Ada yang membuat saya merasa lebih dari hari sebelumnya. Kisah itu berawal ketika saya diajak makan bersama oleh seorang ustad muda yang memberiku banyak pelajaran setiap pekan. Ya pelajaran yang tertuang dalam lingkaran kecil yang hanya berisi beberapa orang.
Setelah dzuhur saya dan rekan-rekan diajak makan bersama di sebuah rumah makan. Tidak begitu elit memang suasana rumah makan tersebut. Menu-menunya pun harganya cukup terjangkau. Namun suasana yang melingkipunya itulah yang membuat pertemuan itu begitu berharga. Dalam rumah makan itu kami bercengkrama. 
Ustad muda tersebut membuka pembicaraan dengan mengenalkan satu persatu dari kami. Acara perkenalan itu dilakukan karena beliau bersama salah satu rekan saya membawa istrinya dalam acara pengganti pertemuan pekanan tersebut. Beliau memperkenalkan kami kepada istrinya dan kemudian memperkenalkan istrinya kepada kami.
Kita berkumpul di sini karena kita semua adalah bersaudara dank arena kita adalah keluarga”. Tutur beliau, dalam kalimat yang terucap dari tutur katanya yang lembut. Saya cukup tersentuh mendengar kalimat lembut itu. kalimat yang sederhana namun mempnuyai kedalaman makna. “kita keluarga” itulah pesan yang ditegaskan kepada kami. menegaskan bahwa kita harus hidup dalam suasana kekeluargaan, suasana kehangatan dan suasana saling menasehati.
          Usia persaudaraan kami memang jauh dari usia persaudaran sedarah. Namun efektifitas pertemuan lama kelaamaan membawa saya pada sebuah entitas baru yang begitu indah. Bukan entitas keluarga senasab ataupun entitas teman kerja dan akademik. Namun suasana yang melingkupinya bagaikan suasana harmonis keluarga. Erat ikatannya dan ada komitmen yang terus dijaga di sana. Komitmen untuk senantiasa dalam da’wah, ukhwah dan jamaah.
          Semoga ukhuwah itu senantiasa terjaga. Semoga kehangatan “satu keluarga” itu tetap mendapat limpahan rahmat dari sang Maha Penyayang. Agar ia menjadi bekal kami melanjutkan perlajanan. Perjalanan yang begitu panjang menguras tenaga. Perjalanan yang tidak pernah usai, sampai waktu kami usai. 

Sesungguhnya Engkau tahu
bahwa hati ini telah berpadu berhimpun dalam naungan cintaMu
bertemu dalam ketaatan bersatu dalam perjuangan
menegakkan syariat dalam kehidupan

Kuatkanlah ikatannya kekalkanlah cintanya tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahayamu yang tiada pernah padam
 Ya Rabbi bimbinglah kami

Lapangkanlah dada kami dengan karunia iman
dan indahnya tawakal padaMu hidupkan dengan ma'rifatMu
matikan dalam syahid di jalan Mu Engkaulah pelindung dan pembela
(Doa Robithoh)

26 Jan 2012


By: Agus Purnomo
(Ketua KAMMI UIN Jogja)
            Indonesia tidak ada harapan lagi, setidaknya itulah kesimpulan yang bisa diambil atas  kondisi bangsa yang diberitakan media saat ini. Hampir 24 jam dalam sehari semua media memberitakan bahwa negara Indonesia dalam kondisi mengenaskan. Kriminalitas yang terjadi dimana-mana, instabilitas pertahanan negara, kisruh Politik, skandal korupsi dan kesenjangan sosial menjadi santapan masyarakat dan generasi muda hampir disetiap stasiun Televisi.
            Tragedi kemanusian di Poso, Sulawesi Tengah. Bima, Nusa Tenggara Barat, Mesuji dan Sidomulyo, Lampung dan sengketa Freeport di Papua seolah menggambarkan masyarakat Indonesa adalah masyarakat yang mudah terbakar emosi, tidak dewasa dan tidak bisa hidup berdampingan. Kemudian isu korupsi yang menjerat tokoh elit pemerintahan dalam kasus korupsi renovasi ruang banggar, Wisma Athlet, Century, BLBI, dan  korupsi M. Nazarudin (mantan bendahara PD) memberi pesan bahwa politik itu kotor dan pelakunya adalah busuk. Di sisi lain kemiskinan, penganguran, sengketa buruh telah berhasil memberikan stigma kegagalan para pemangku kebijakan. Semuaya digambarkan negatif, seolah tidak ada lagi kebaikan di negeri ini.
Dampak Negatif Pemberitaan Destruktif
            Pemberitaan atas ‘borok’ bangsa secara massive telah merubah mind set berfikir masyarakat. sekarang banyak kita jumpai obrolan-obrolan yang cenderung menghujat pemerintah. Menganggap mereka tidak becus lagi mengurus negara kemudian cercaan itu diakhiri tanpa adanya solusi konkret, mereka pesimis.  
            Seringnya mengkonsumsi berita negatif berdampak lebih buruk lagi. Ambillah contoh dalam tindakan kriminal, sebuah kerusuhan akan menyulut terjadinya kerusuhan-kerusuhan lain. kriminalitas yang berujung pembunuhan kini lebih dari sekedar menghilangkan nyawa tetapi para pelaku criminal dengan sadis memutilasi korbannya. Semua itu terjadi karena telah belajar. Pemeritaan buruk seolah telah mengajari bagaimana melakukan tindak pidana secara lebih profesioal.
Belajar Dari Sejarah
            Rasanya kita harus belajar kepada faunding father pengukir sejarah Indonesia. Ibu pertiwi pernah melahirkan tokoh patih Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara. Mempunyai Tuanku Imam Bonjol, Jendral Soedirman, dan Insinyur Soekarno yang berhasil membawa bangsa menuju kemerdekaan. Kita harus belajar dari kaum intelektual sekaliber Mohammad Natsir, Mohammad Hatta dan Buya Hamka yang kontribusinya tidak hanya dinikmati dalam skala nasional tetapi juga masyarakat internasional
            Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah perjuangan dan semangat kerja keras. Di tengah perang dingin pasca kemerdekaan, para ulama dan negarawan bersama masyarakat mampu membuat gerakan non block. Dalam suasana yang sulit mereka telah menorehkan prestasi yang mengagumkan.
Indonesia Optimis
            Kita tidak menafikkan realitas hari ini. Namun yang ingin saya tegaskan bahwa kondisi yang menimpa bangsa haruslah disikapi dengan optimis. Semua Negara pernah mengalami masa krisis namun mereka mampu keluar dari semua permasalahan besar dengan optimisme yang tertata rapi. Kita harus menyadari bahwa kesulitan adalah fase yang harus dilalui untuk memperkokoh kepribadian bangsa.
Optimisme adalah awal yang kita bangun untuk merubah merubah kaum ploretar menjadi negarawan dan merubah anak desa menjadi pemimpin dunia. Sesuatu yang tidak mungkin akan menjadi mungkin dengan adanya optimis. Karena optimis, seperti yang disampaikan Anis Matta dalam bukunya “Mencari Pahlawan Indonesia” adalah  “titik tengah antara idealisme yang tidak realistis dengan realisme yang terlalu pragmatis”.
Dalam Alquran Allah SWT berfirman “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah [2] : 286). Problematika yang menimpa bangsa Indonesia sudah diukur oleh Allah sesuai kesanggupan kita. Firman tersebut menegaskan bahwa kita memang mampu keluar dari peliknya permsalahan. Yang perlu kita lakukan adalah membangun optimisme kolektif dalam jangka panjang. Kita harus optimis bahwa Indonesia akan menjadi “Macan asia” kembali. Kita harus optimis melalui pemuda-pemuda yang cerdas dan sumber daya alam yang melimpah, negara Indonesia tidak hanya mampu memberikan kesejahteraan kepada bangsanya tetapi juga mampu memimpin dunia yang membutuhkan peradaban baru.

19 Jan 2012


Setiap orang memang mempunyai kehidupan dan jalan hidup yang berbeda. Ada yang hidup dalam keadaan miskin, tidak punya rumah, harta bahkan keluarga. Namun ada pula yang hidup dalam kecukupan bahkan dalam kemewahan. Kehidupan yang serba ada, rumah mewah, saham dimana-mana, kendaraan nomor satu dan kemewahan hidup lain. Dua keadaan sosial itu hidup dalam lingkungan kita.
Beberapa hari yang lalu kakak saya mengirim SMS yang kira-kira kalimatnya seperti ini “Gus aku punya murid, dia yatim yatim piatu dan mempunyai tiga saudara. Kita harus bersyukur Gus ya masih punya bapak ibu”. Kakak saya adalah seorang PNS guru SD di daerah terpencil di propinsi Lampung. Tidak ada listrik dan sinyal operator seluler di sana. Kondisi masyarakatnya pun masih sederhana dan sedikit dari mereka yang mengeyang pendidikan walau hanya setaraf SMA.
Bila kita cermati cerita si anak yang tidak lagi mempunyai orang tua tersebut kita akan mendapati bahwa kehidupan mereka penuh dengan perjuangan. Di usianya yang masih kecil ia tidak lagi mendapat sentuhan kasih sayang orang tua. Di sisi lain ia dan saudara-saudaranya harus berjuang sendiri mempertahankan hidup dengan segala keterbatasan yang ada.
Namun banyak cerita yang mengisahkan kesuksesan orang-orang yang hidup dalam jerat kemiskinan. Kita pernah membaca cerita sukses Ikal dan  Arai dalam novel Laskar pelangi, cerita bocah di Cina yang harus menghidupi orang ayahnya saat berumur 10 tahun,di sisi lain ia juga harus terus berjuang menntut ilmu. dan tentu saja cerita tauladan kita SAW seorang yatim piatu, bukan dari keluarga berharta namun ia sekrang menjadi orang nomor satu sepanjang sejarah umat manusia.
saya kemudian berfikir bahwa fasilitas memang tidak menjadi jaminan seseorang dapat sukses. Fasilitas yang mencukupi malah menjadi cobaan tersendiri bagi kita, ketidak mampuan kita mengelola fasilitas malah akan mejadikan kita seseorang yang malas dan menggampangkan urusan. Makanya tidak jarang kita dapati mereka yang bekecupuan cendrung pemalas, hidupnya tidak dinamis dan mati dalam keadaan biasa saja.
  Secara lebih mendalam kita menyadari bahwa kesukesan itu adalah soal mental dan semangat meraihnya. Karena ada semangat, seseorang akan berfikir keras mencari berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti yang dilakukan oleh anak-anak yang terus berjuang dalam keterbatasan. Mereka menyadari bahwa minimnya fasiliatas bukanlah menjadi penghalang mengejar cita-cita. Mereka menyadari bahwa masih banyak jalan menuju roma.  Mereka terus berjuang dan bersabar. Bersama teman-temannya mereka telah membuktikan bahwa mereka mampu lebih sukses dan layak memimpin dunia,juga memimpin anak-anak yang selalu dimanjakan oleh fasilitas mewah. Di tengah keterbatasan mereka mampu berjuang bukan hanya untuk terlepas dari kesulitan tetapi juga menorehkan tinta sejarah peradaban.

17 Jan 2012


Islam sebagai agama yang sempurna menjamin kelangsungan hidup setiap manusia. Mulai dari kebutuhan spiritual maupun kebutuhan non spiritual, seperti menjaga keturunan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya. Begitu juga dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi guna mencapai masyarakat yang sejahtera.
Salah satu instrument ekonomi Islam untuk menyejahterakan manusia adalah melalui system wakaf. Dalam definisnya Imam Syafii dan Ahmad berpendapat bahwa “wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan”. Secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.
Di negara  Mesir, Yordania, Saudi, Arabia dan Turki wakaf selain berupa sarana dan prasaranaa ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, flat, saham, real estate dan lain sebagainya yang semuanya dikelola secara produktif.
Di Indonesia sendiri, wakaf sudah ada dalam undang-undang Nomor 41 tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut diatur mulai dari definisi wakaf, jenis-jenis benda yang boleh diwakafkan sampai pada menejement pengelolaan harta wakaf.
Namun dalam kenyataannya perjalanan wakaf di Indonesia belum maksimal. Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang wakaf menjadi kendala besar dalam memajukan wakaf di Indonesia. Sebagian masyrakat hanya mengetahui bahwa harta yang diwakafkan adalah harta yang tidak bergerak seperti tanah ataupun rumah. Padahal benda yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak seperti adananya wakaf tunai, saham, Surat berharga, hak kekayaan intelektual dan lain sebagainya.
Di sisi lain lembaga-lembaga pengeolalan wakaf baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah hanya ditemui di masyarakat perkotaan saja. Lembaga Wakaf belum mampu menjangkau seleruh daerah Indonesia terutama untuk daerah-daerah terpencil.
Kenyataan tersebut merupakan akibat dari minimnya sosialiasasi dan optimalisasi lembaga wakaf dari para praktisi syariah dan stek holder lainnya seperti lembaga-lembaga wakaf, masyarakat sebagai objek sekaligus subjek wakaf dan khususnya pemerintah sebagai pengampu kebijakan. Dalam lapangan sosialisasi pemerintah terkait wakaf nyaris tidak ada. Berbeda dengan wajib pajak yang terus digemobor-gemborkan oleh pemerintah.
Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia tentu saja keberadaan wakaf menjadi sangat strategis. Sudah seharusnya wakaf mendapat perhatian khusus bagi pemerintah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial. Adanya wakaf harus dioptimalkan baik itu dalam regulasi, sosialisasi maupun pelaksanaanya. karena dengan optimalnya peran wakaf dan pengelolaanya  akan memudahkan masyarakat dalam akses kesehatan, pendidikan, kegiatan-kegiatan ilmiah dan lain sebagainya.
Hari ini adalah ujian terakhir saya dalam semester ke tujuh. Ujian Akhir Semester (UAS)  merupakan tradisi akademik dalam kurikulum pendidikan di negeri kita. UAS adalah sarana yang digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi proses pembelajaran yang sudah dienyang selama enam bulan terakhir. Dalam teorinya melalui hasil UAS pengajar atau perguruan dapat mengetahui tingkat kepahaman mahasiswa.
Namun dalam kenyataannya tidak jarang para intelektual muda itu melakukan kegiatan culas dalam UAS. Ya, mereka masih gemar menyontek atau bekerja sama dengan rekannya yang lain. Bahkan hari ini kegiatan menyontek semakin professional. Baik itu dalam strategi operasional maupun sarana yang digunakan untuk menyontek yakni dengan menggunakan Hand Phone berfasilitas  internet.
Sayangnya pihak pengawas kurang teliti dalam mengawasi jalannya ujian. Pengawas tidak tegas untuk menegur mahasiswa yang menyontek. Akibatnya tradisi saling “tolong-menolong” dalam ujian itu berlangsung secara mudah. Seorang mahasiswa tidak segan-segan mengeluarkan buku kuliahnya untuk menyalinnya ke dalam lembar jawaban. Seorang mahasiswi dengan santai browsing di internet untuk menemukan jawaban yang diinginkan. mereka melakukannya tanpa khawatir akan ditegur oleh pengawas.
Namun ada yang membuat saya bangga dengan salah satu teman sekelas. Kejadian yang membuat saya tersenyum itu terjadi ketika melihat jawaban mahasiswa yang dikumpulkan di meja pengawas. Saya yang juga hendak mengumpulkan lembar jawaban tersenyum seketika saat melihat kalimat dalam jawaban teman saya itu. “maaf pak saya lupa jawabannya” itulah kalimat yang ditulis rekan saya dalam lembar jawaban yang memang sebagiannya kosong.
Apa yang dilakukannya merupakan bentuk kejujuran akademik. Ia yang tidak bisa menjawab sebagian soal lebih memutuskan untuk menyampaikan alasan kenapa tidak bisa menjawab dan mengumpulkannya dalam lembar jawaban. Hal itu menurut saya lebih baik dari pada terus di kelas sambil menunggu contekkan dari rekannya.
Kejujuran yang dilakukan mahasiswa tersebut patut diberi apresiasi. Ditengah tradisi mencontek dan plagiasi yang menghiasi dunia intelektualitas mahasiswa, masih kita temukan secercah kejujuran. meskipun ketidak bisaannya bukanlah hal terbaik. Namun dari kejujuran dan keberaniannya akan memompa kesadarannya untuk lebih giat lagi dalam belajar. Di sisi lain sikap jujurnya akan membantu pengajar dan dosen untuk mengevaluasi hasil pembelajarannya selama ini. kejujuran dan keberaniannya patut untuk ditiru oleh semua pelajar dan akademisi.