1 Feb 2011

Eksistensi media di indonesia (Antara Realita Dan Idealita)

Era reformasi disebut-sebut sebagai pintu terbukanya gerbang demokrasi secara lebih subtantif. Karena ia membawa angin segar bagi kebebasan berfikir masyarakat indonesia. Terutama pada kebebasan berpendapat dan berserikat. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada era reformasi media mendapatkan momentumnya. Media yang sempat dikerdilkan pada masa orba, kini tumbuh subur di era reformasi. Dan pada hari ini media cetak dan elektronik menghiasi keseharian kita. Baik dalam skala nasional maupun daerah. Jika dahulu media cetak lebih marak, kini media elektronik lebih mendominasi masyarkat indonesia. Mulai dari radio, televisi bahkan internet seperti blog, FB, tweeter dll.
Hadirnya begitu banyak media memang harus mendapat apresiasi oleh masyarakat. Pasalnya selain sarana memperoleh informasi, media juga membawa keceriaan paada masyarkat. dengan berbagai jenis infotainment. Namun demikian benarkah media hari ini layak dikatakan sebagai bagian dari proses pembagunan nasional?. Ini lah pertanyaan besarnya. Dan di siniah ironisnya. Teman yang membersamai keseharian kita ternyata patut kita curigai dan dikritisi keberadaanya.
Generasi pahlawan (baca: pemuda) yang optimistis kini menjadi pesimistis karena terus mengkonsumsi berita-berita negatif. Pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan kemiskinan menjadi santapannya setiap hari. Seolah-olah duniia ini dipenuhi oleh keburukan dan tidak ada lagi harapan. Dari segi perusakan moral,dalam hal ini infotainment juga harus bertanggung jawab. Tayangan-tayangan yang tidak layak dikonsumsi publik begitu masive di perbincangkan. Gonta-gonti pasangan, mode pakaian terbuka, kasus perselingkuhan, perceraian, bahkan pergaulan bebas mendominasi pemberitaan infotainment. Dan tindakan itu pula lah yang diikuti oleh masyarakat. Hedonis, individual dan cari sensasi segera mengakar pada otak generasi muda. Wajar saja jika infotainment sering disemprit (ditegur) oleh KPI.
Media seolah-olah menjadi mesin perang yang menginvasi pola fikir manusia. Dalam skala besar media telah melakukan pembodohan masal terhadap umat. Sebuah kebijakan pemerintah bisa terlaksana atau tidak juga bergantung pada media. media bak menjadi hakim dalam pengadilan, atau pemain dalam suatu pertandingan. Bukan lagi sebagai komentator apa lagi penonton. Ratting menjadi pertimbangan utama sebuah program televisi layak terus ditayangkan atau tidak. Baik-buruknya sebuah program bukan lagi menjadi pertimbangan. Sehingga masyarakat pun berprilaku bukan atas dasar benar atau tidak benar tapi karena legal atau tidak legal.
Sebagai seorang muslim, realita tersebut harusnya tidak membuatnya pesimistis. Tapi menjadi pijakan untuk menentukan sikap dan bertindak, Dalam rangka melakukan perbaikan. Selain tindakan persuasif sebagai filter terhadap masyarakat akan dampak buruk media. Tindakan yang lebih efektif dan masif haruslah dilakukan. Mempersiapkan generasi yang handal dalam pengelolaan media adalah keniscayaan. Bahkan ia adalah kebutuhan mendesak pada saat ini. Generasi yang digarapkan secara garis besar harus menguasai dua aspek. Yang pertama ia harus kompeten dalam penguasaan media. Komptensi adalah ukuran profesionalitas. Tidak sekedar untuk eksistensi sebuah lembaga (media) tapi juga dalam rangka ekspansi dan persaingan. Dan yang kedua ia harus mumpuni dalam ilmu keislaman. Karena ia adalah ruh da’wah. Ia akan mengawal kerja-kerja profesional agar beredar pada orbitnya (sesuai syariah). jika dua aspek tersebut melekat pada diri seorang muslim, media yang ideal akan lahir. Media yang bergerak atas dasar tanggung jawab. Bertindak atas dasar kesadaran dan kemaslahatan dalam rangka kerja bersama mengawal pembagunan nasional.

NB: Afwan bahasanya kacau...di edit nggeh...

0 komentar:

Posting Komentar

monggo dikoment...