20 Mar 2011

HADANAH


BAB I
PENDAHULUAN
Hadanah adalah pemeliharaan dan mendidik seorang anak laki-laki maupun anak perempuan yang belum mumayyiz dan belum dapat berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Ibunyalah yang berhak untuk mengasuhnya, tetapi nafkah menjadi tanggungan sang ayah meliputi masalah ekonomi, pendidikan, dan segala kebutuhan pokok anak tersebut hingga dewasa berupa pengawasan dan pelayanan dengan sebaik-baiknya.
Persoalan yang akan timbul setelah terjadinya perceraian cukup banyak diantaranya mengenai hubungan bekas suami dan bekas isteri, seringkali terjadi masalah baru seperti pembayaran mahar yang masih belum lunas dibayarkan oleh pihak bekas suami kepada pihak bekas isterinya, kemudian bekas suami tidak mau memberikan nafkah kepada bekas isteri sebelum masa iddahnya selesai.
Mengenai persoalan pemeliharaan anak (hadanah) seringkali menjadi persoalan oleh kedua orangtunya umtuk mengasuh anak yang menjadi korban dari perceraiannya. Hal tersebut lah yang kemudian menjadi polemic nerkepanjangan.
 Karena terjadi perubahan status keluarga yang dulunya suami istri kini menjadi mantan suami dan mantan istri. Namun meskipun sudah mantan hak dankewajiban terhadap anak masih tetap ada. Permasalahan selanjutnya yang muncul adalah hak dan kewajiban baru terhadap anak tersebut juga menimbulkan permasalahan baru.




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian dan dasar hukum
1.      Pengertian
Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut Hadhanah, namun hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu didekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu menyusukan anaknya dipangkuannya, seakan – akan ibu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah dijadikan istilah yang dimaksud.
Akan tetapi para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak – anak yang masih kecil baik laki – laki maupun perempuan ataupun sudah besar namun belum mumayizz, menjaganya dari sesuatu yang menyakitkan dan merusaknya sehingga mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Hadhanah juga dapat diartikan mendidik disini dapat diartikan bahwa menjaga, mendidik, memimpin serta mengatur dalam kehidupan sehingga anak tersebut dapat mengatur dirinya sendiri.
2.      Dasar Hukumnya
Dasar hukum pemeliharaan anak, tercantum dalam surat at – Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
ﺓﺮﺎﺟﺤﺍﻭﺲﺎﻨﻟﺍﺎﻫﺩﻭﻘﻭﺍﺮﺎﻨ ﻡﻛﻳﻟﻫﺃﻮ ﻡﻛﺳﻓﻨﺃﺍﻭﻘﺍﻭﻧﻤﺁﻦﻳﺬﻟﺍﺎﻬﻳﺃﺂﯿ
Artinya: Hai orang – orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Pada ayat ini orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar terpelihara dari api neraka. Agar seluruh anggota keluarganya melaksanakan perintahnya dan menjahui larangannya, termasuk anggota keluarga disini yakni anak.

B.     Yang berhak melakukan pemeliharaan anak
Seorang anak dari permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, baik seperti makan, minum dll. Oleh karena itu orang yang menjaganya perlu rasa kasih sayang, kesabaran, serta mempunyai keinginan agar anak itu baik dikemudian hari. Para ulama sepakat bahwa hadanah, mendidik dan merwat anak hukumnya wajib.[1]
 Dan pemilik syarat – syarat tersebut adalah wanita oleh karena itu agama menetapkan bahwa wanitalah yang pantas dalam pemeliharaan ini. Berikut ini akan digambarkan Pemeliharaan Anak dalam berbagai Pandangan:
Dalam Islam, disebutkan dalam hadist yang berbunyi :
ﺀﺍﻭﺤﻪﻠﻱﺭﺟﺤﻮﺀﺎﻋﻮﻪﻠﻲﻧﻁﺒﻥﻜﺍﺫﻫﻪﻟﻠﺍﻞﻭﺴﺮﺂﯿﺕﻠﺎﻘﺓﺭﻣﺃﻦﺃﺭﻣﻋﻥﺑﺍﻪﻟﻠﺍﺪﺑﻋﻥﻋ
Artinya: Dari Abdullah Bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata: Ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, air susukulah yang diminumnya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah: engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah lagi dengan laki – laki lain.
Serta didalam riwayat lain Abu bakar berkata, bahwa “ibu adalah satu – satunya yang menguatkan tentang hak asuh anak ini, bahwasanya anaknya cenderung ke ibunya. Namun apabila si anak telah menginjak dewasa/baligh maka diantara kedua belah pihak menanyakan kepadanya tanpa ada penekanan, agar si anak bisa memilih untuk tinggal bersama ibu atau bapaknya. Yang paling berhak melakukan hadhanah adalah ibu baik masih terikat perkawinan, ataupun masa iddah, selama dia masih belum menikah lagi dengan laki – laki lain. Jika ibu telah meninggal ataupun tidak ada maka yang berhak menjadi hadhanah adalah ibu dari ibunya anak itu terus keatas, begitupun sebaliknya ibu dari bapaknya hingga keatas. Dasar urutan orang – orang yang berhak melakukan dalam hadhanah yaitu:
Dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 156 huruf a,
sdiatur mengenai penggantian kedudukan ibu yang memegang dan memelihara atas anak. Hal ini dilakukan apabila Ibu dari si Anak meninggal dunia. Ia dapat digantikan oleh:
1)      Wanita – wanita dalam garis lurus ke atas dari Ibu, misal nenek dari pihak ibu si anak
2)      Ayah si Anak
3)      Wanita – wanita dalam garis lurus keatas dari Ayah
4)      Saudara perempuan dari Anak tersebut
5)      Wanita – wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, misal bibi dari pihak ibu si Anak
6)      Wanita – wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari Ayah.
Pasal 105
Pemeliharan anak yang belum mumayyiz belum berumur 12 tahun maka hak ibu
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memilih diantara bapaknya dan ibunya.
Pasal 106
Orang tuanya berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan dan tidak diperbolehkan memindahkan kecuali karena mendesak. Ditimbulkan karena
Orang tua bertanggung jawab atas kerugian atas yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)
Dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam undang – undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pada pasal 7
disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 26
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a.       Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
b.      Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan
c.       Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak – anak.
Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Secara sederhana kewajiban wali tersebut adalah, pertama, wajib mengurus anak dib di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak tersebut. kedua, wajib membuat daftar harta bendanya yang berada dibawah penguasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak-anak di bawah asuhannya. Ketiga, wali bertanggung jawab atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliaannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.[2]
C.  Harta yang dimiliki oleh anak
Dalam pasal 206 diatur:
1.      Orang tua diwajibkan merawat dan mengmbangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan dan menggadaikan kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau sesuatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
2.      Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut ayat (1).[3]

D. Pencabutan Kekuasaan Wali
Namun demikian apabila wali melalaikan kewajiban maka tidak menunut kemungkinan untuk mencabut kekuasaannya dan memindahkannya ke pihak yang lain. Kelalaian tersebuat dapat juga berupa seperti sifat wali pemabuk, penjudi, pemboros, pengedar obat terlarang dan lain-lain.
Lebih jelasnya pencabutan kekuasaan wali dilakukan oleh pengadilan agama atas permohonan kerabat dari anakyang berada di bawah perwalian tersebut apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:
1.      Wali tidak melakukan pemeliharaan terhadap si anak dengan sungguh-sungguh.
2.      Wali menelantarkan pendidikan si anak atau tidak memberikan bimbingan agama terhadap si anak.
3.      Wali memindah tangankan harta benda si anak yang bukan untuk kepentingan si anak yang berada dibawah pewaliannya.
4.      Wali mempunyai kelakuan yang sangat buruk dan tidak apantas untuk diteladani.
5.      Lain-lain perbuatan atau keadaan yag dapat merugikan kepentingan si anak.[4]
E. Yang Berhak Mengurus Anak Setelah Pencabutan Kekuasaan Atas Wali
Jika orang tua sebagai pengampu anak tidak bisa lagi atau di vonis oleh pengadilan tidak boleh lagi mengasuh anak, makan pengadilan menunjuk seseorang untuk menjadi pengganti wali.
Dalam penunujukan wali ini hokum perkawinan Indonesia dan hokum islam menganut prinsip yang sama yaitu wali yang di tunjuk sedapat mungkin diambil dari keluarga si anak.[5]
Menurut hokum islam orang-orang yang bisa ditujuk sebagai wali terdiri dari:
1.      Jika si anak sudah dapat memilih atau sudah dapat membedakan sesuatu dan sudah tidak lagi membutuhkan pelatanan perembpuan, maka orang yang ditunjuk menjadi wali untuknya diambil dari kluarganya sendiri sesuia dengan urutan tertib hokum waris.
2.      Jika anak tersebut belum dapat memilih, para ahli fiqh berpendapat bahwa kerabat itu lebih didahulukan dari kerabat ayahnya, dan urut-urutannya adalah sebagai berikut.[6]
a.       Nenek perempuan
b.      Kakaek si anak dari pihak ibu
c.       Saudara perempuan sekandung Dari anak tersebut
d.      Saudara perempuan seibu
e.       Saudara perempuan seayah
f.       Kemenakan perempuan sekandung
g.      Kemenakan perempuan seibu
h.      Saudara perempuan ibu yang sekandung dan seterusnya
i.        Saudara perempuan ibu yang seibu
j.        Saudara perempuan ibu yang seayah
k.      Kemenakan perempuan ibu yang seayah
l.        Anak perempuan saudara laki-laki yang sekandung
m.    Anak perempuan saudara laki-laki seibu
n.      Anak perempuan saudara laki-lajki seayah
o.      Bibi dari ibu yang sekandung
p.      Bibi dari ibu seibu
q.      Bibi dari ibu seayah.
Apabila orang tua si anak tidak mempunyai wali setelah meninggal dan tidak menunjuk wali untuk anaknya maka penunjuka tersebut diambil dari salah seorang di antara mereka mulai dari kerabat yang terdekat menurut garis keturunannya.
KESIMPULAN
Merawat dan mendidik anak adalah suatu keharusan. Karena anak sebagai generasi penerus bangsa haruslah di persiapkan dengan baik. Dan orang tualah yang palig bertanggung jawab dalam mengawal seorang anak menjadi pemuda yang siap menjalankan tugasnya sebagai pemuda.
Karena sangat pentingnya menjaga buah hati maka islam member peraturan khusus kepada pemeluknya untk senantiasa menjaga anaknnya. Meskipun kedua orang tua telah bercerai atapun meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Johan Nasution, Bahder dan Warjiyati, Sri. 1997, Hukum Perdata Islam. Bandung: Bandar Maju
Nurudin, Amir dan Tarigan, Azhari Akmal. 2004. hokum perdata islam Indonesia.Jakarta: Perdana Media
Prodohamidjodjo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia legal center publishing
Sabiq, Sayid. 1983, fiqh al-sunnah, Beirut: daar al-fikr







[1] Amir nurudin dan Azhari akmal Tarigan hokum perdata islam Indonesia. Hal 293
[2] Martiman prodohamidjodjo, op.cit, h.70-71
[3] Ibid, hal 302
[4] Bahder Johan Nasution dan sri warjiyati, op cit. h 44
[5] Amir nurudin dan Azhari akmal Tarigan hokum perdata islam Indonesia. Hal 293
[6] Sayid sabiq, fih al-sunnah, (Beirut: daar al-fikr, 1983), h. 289

0 komentar:

Posting Komentar

monggo dikoment...