31 Mar 2011

Antara amanah dan jabatan


Sebagai manusia kita sering menginginkan mendapatkan suatu jabatan tertinggi dalam sebuah struktur lembaga. Keinginan tersebut kadang memaksa kita untuk memutar otak bagaimana caranya agar dapat menempati posisi itu. Kemudian kita akan melakukan berbagai cara agar mendaptkan posisi tersebut. mulai dari cari yang konvensional sampai pada cara yang controversial yakni melakukan kecurangan.
Jika hal di atas masih membudaya alam benak bangsa kita maka yang terjadi adalah ketidak sesuaian antara pemegang jabatan dan tugas yang di embannya. Atau mereka tidak mempunyai kapasitas untuk jabatannya. Padahal kapasitas adalah penentu dari keberhasilan sebuah jabatan.
Kapasitas adalah rangkaian atau produk komplit tentang sebuah ide besar  perubahan. ia berisi tentang visi, integritas, narasi, kredibiltas, kapabilitas dan kemampuan memimpin. Dan setiap orang mempunyai tingkat kapasitas yang berbeda. Oleh karena itu ia harus sesuai pula dengan tempatnya. Seorang mentri social akan sukses menanggulangi kasus kemiskinan misal, jika ia mempunyai kapasitas sebagai seorang mentri social. Begitu juga dengan jabatan yang lain seperti sebagai lurah, camat, direktur perusahan, rector universitas dan lain sebagainya.
Tentu saja hal yang akan terjadi ketika seorang tidak mempunyai kapasitas mengemban tugas adalah sebuah kegagalan. Kegagalan diawal dalam menyusun visi, misi dan strategi. Dalam perjalannya ia akan kehilangan kredibilitas dan integritas hingga akhirnya ia akan dihujat oleh bawahan atau rakyatnya. Dan biasanya yang dilakukan oleh pemimpin yang tak berkapasitas itu adalah bagaimana menutupi kesalahan, memolesnya dengan pencitraan hingga menggunakan tangan besi untuk membungkam rakyatnya yang melawan.
Kesalahan awal paradigma berfikirnya adalah kita tidak memahami jabatan yang diemban namun begitu menginginkannya. Oleh karena itu kita harus sadar akan peran yang akan kita mainkan. Karena bukan hanya menyangkut kemaslahatan pribadi dan golongan saja melainkan untuk masyarakat luas. Jika jika hal ini disadari maka posisi tidak sekedar jabatan yang identik dengan prilaku pragmatism tapi juga amanah yang harus dijalankan dengan totalitas dan penuh tanggung jawa.
Memahami posisi sebagai amanah akan menjadikan kita sadar dan tahu diri akan kritik atas kinerja kita. Oleh karena itu jika suatu saat pemimpin atau rakyat menginginkan kita mundur dari kursi kekuasaan maka dengan penuh lapang dada dan sifat kesatria kita akan bersedia.
Posisi sebagai amanah akan memacu kita berfikir secara objektif dan dinamis. Bagaimana caranya agar mampu berkontribusi maksimal atas amanah yang sedang di emban. Bahkan lebih dari itu dengan penuh rasa empati kita akan terus berkontribusi meskipun sudah tidak menjabat dalam suatu bidang atau kekuasaan. Karena amanah berbeda dengan jabatan. Karena amanah akan tetap ada sepanjang hayat ada atau tiadanya kita dalam suatu jabatan.

0 komentar:

Posting Komentar

monggo dikoment...