8 Apr 2012

DUA KEKAYAAN TOKOH DUNIA



shaonforeveryone.blogspot.com 
hidup bersahadja dialam maddah (materi) sebagai fakir, tetapi memegang kendali dialam ruhani sebagai radja” itulah uangkapan M. Natsir menyimpulkan kepribadian seorang  ulama terkenal Ibnu Al-farabi. Beliau menggambarkan tokoh dunia itu sebagai seorang yang sederhana dan berakhlak tinggi.
            Ada dua sisi yang dianggap berbeda namun dapat berjalan beringan dalam pribadi al-Farabi. yakni kebersahajaan seorang ulama, hidup dalam fakir atau kesederhanaan, namun memgang kendali, memegang kuasa dan mempunyai karakter yang diakui oleh khalayak sebagai pribadi yang berakhlak tinggi atau “dalam ruhani sebagai radja”. Al-Farabi boleh saja miskin harta namun ia kaya ilmu.
initialdastroboy.wordpress.com 
            Keperibadian Al-Farabi sebenarnya juga terdapat dalam sosok M. Natsir, meskipun ia seorang negarawan dan pernah menjabat perdana mentri dimasa pemerintahan Soekarno, ia tetaplah pribadi yang sederhana, tinggal bersama rakyat, makan seadanya dan mengenakan pakaian layaknya kaum proletar. Mantan mentri penerangan itu pernah mengenakan pakaian yang bertambalkan aspal, dan itulah yang membuat George Mc Turnan Kahin, seorang Indonesianis asal Amerrika berdecak kagum  karena ia tidak mendapatinya pada pejabat-pejabat lain.
            Sebenarnya apa sulitnya bagi Al-farabi yang bekerja di istana atau M. Natsir yang menjabat perdana mentri untuk hidup dalam kemewahan, mereka  dengan mudah dapat membeli kendaraan mahal, rumah mewah atau bahkan meminta ruangannya dipenuhi dengan uang. Apa lagi setelah mereka menunaikan kewajibannya kepada agama maupun Negara seperti membayar zakat, pajak, sedekah dan upeti-upeti lain. Tentunya setelah menunaikan kewajiban tersebut, mempunyai barang mahal merupakan sesuatu yang wajar dan sah-sah saja bagi pejabat negara. Namun tidak bagi dua alim ulama tersebut, tidak untuk hidup bermewah-mewahan. Mereka menolak hidup ala raja, mereka lebih memilih hidup sebagai rakyat biasa!.
            Mencermati sikap tersebut, ada pemahaman tentang arti kaya dalam benak mereka. Mereka adalah kaya, namun kekayaan yang dimaksud bukanlah kekayaan yang dipahami oleh kebanyakan. Bukan kekayaan yang diincar oleh manusia yang haus dunia. Kekayaan yang mereka pahami adalah kekayaan akhlak dan kekayaan intelektual.
            Kerelaan Al-farabi dan M. Natsir hidup sederhana dan berbaur dengan masyarakat adalah bentuk dari kekayaan akhlak. Sikap jujur, tegas dan berani adalah kekayaan akhlak. Bersikap lemah lembut, pemaaf dan berjiwa besar adalah kekayaan akhlak. Al-farabi menolak pemberian gaji dari istana melebihi keperluan sehari-harinya. Begitu juga M. Natsir yang mau mengenakan pakaian bertambal. Itu semua adalah kekayaan akhlak yang tidak dimiliki sembarang orang termasuk orang kaya!.
            Kedua adalah kekayaan intelektual. Intelektualitas yang dimiliki tokoh tersebut meminang dunia untuk mengakuinya. Kekayaan intelektual telah menjadikan Al-Farabi sebagai ilmuan dan filsuf terbesar pada abad pertengahan. Begitu juga M. Natsir ulama dan politikus itu dikenal karna berbagai karya monumentalnya dan  keberhasilannya menyatukan Aceh ke dalam NKRI.
            Saya tidak hendak menyamakan atau membandingkan dua tokoh besar asal Farab (sekarang Kazhakstan) dan Indonesia tersebut. Namun ada dua kekayaan yang melekat dan menjadi ciri khas. Yakni akhlak yang mulia dan intelektualitas. Dua kekayaan itulah yang seharusnya diincar dan dikejar-kejar oleh manusia. Bukan kekayaan dengan memperbanyak harta melalui jabatan yang dipegang. Atau bahkan mencari ilmu karna ingin memperkaya diri dan berprilaku congkak. Namun kekayaan akhlak dan intelektualitas lah yang  seharusnya ada dalam diri kita jika kita ingin menjadi manusia mulia dihadapan Allah maupun sesama.

2 komentar:

alvid dunggio mengatakan...

seperti yang di jelaskan Allah dalam firman-NYA :
"dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-NYA tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang di kehendaki-NYA dengan ukuran." As Syura : 27

tetapi tentu saja zuhud tidak berarti tidak mau menyentuh sama sekali nikmat yang telah di berikan oleh Allah, tapi zuhud yaitu mempergunakan nikmat itu untuk ibadah...

Agus Purnomo mengatakan...

iya akh mreka punya harta dan bnyak bersdkah pula..
kalau zuhud karn g punya kekyaan bukan zuhud namnya tpi mmang sdah sehrusnya hehe

Posting Komentar

monggo dikoment...