20 Mei 2012

PAHLAWAN DAN INTELEKTUAL JONGOS


Oleh : Agus Purnomo
Mahasiswa Hukum Perdata dan Bisnis Islam dan Ketua KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

            Perjuangan berdarah-darah merebut kemerdekaan telah usai dengan dibacakannya proklmasi kemerdekaan. Kini tidak terdengar lagi pekikan kata merdeka dalam konteks perlawanan melawan imperealisme barat di Indonesia pada kurun waktu 66 tahun terakhir. Dahulu, pejuang-pejuang nusantara melakukan perlawanan dengan intelektual, senjata dan tentu saja keberanian. Selain berjuang di ruang rapat dan meja perundingan, mereka juga berjibaku di dalam ganasnya hutan dan sengatan raja siang sembari memikul senjata.
                Ketika Indonesia menginjakkan kaki pada tahun 1945, tongkat estafet perjuangan sampai pada garis finisnya yaitu merdeka. Harapan kemerdekaan diupayakan untuk menandai telah usainya imperealisme di bumi pertiwi, sebuah harapan telah berakhirnya peperangan fisik melawan penjajah. Dengan kedaulatan berada di tangan, bangsa Indonesia kini bebas menentukan ke arah kemana negara hendak dibawa. Kebebasan tesebut tentu saja harus disertai tanggung jawab yakni dengan semangat mengelola sumber daya yang ada untuk mengisi kemerdekaan, menghadirkan kesejahteraan dan mengantarkan negara menuju peradaban.
            Di tengah upaya mengisi kemerdekaan, sialnya harapan rakyat pupus di tengah jalan. Tahun-tahun pasca kemerdekaan nyatanya adalah sebuah proses transformasi penjajahan model baru. Penjajahan yang lebih kejam dari model penjajahan sebelumnya. Yakni penjajahan fisik yang beralih menjadi penjajahan ekonomi. Lebih rumit lagi, pelaku penjajahan adalah bangsa sendiri layaknya musuh dalam selimut. 

Problem Intelektual Jongos
                Harus disadari bahwa tantangan mengisi kemerdekaan lebih sulit dari upaya merebut kemerdekaan.  Kita butuh intelektual-intelektual handal untuk menciptakan ketahanan pangan, membangun ekonomi yang kuat, membuat basis pertahanan yang kokoh dan kepakaran-kepakaran lain. Hadirnya kaum intelektual adalah agenda mendesak bangsa. Namun nyatanya intelektual yang diharapkan perannya pasca kemerdekaan hanya asik di atas menara gading.
Sangat menarik mengikuti berita terbaru, statement Marzuki Ali, ketua DPR RI yang mengatakan bahwa penyumbang koruptor terbesar adalah UI, ITB dan UGM. Meskipun terdengar kontroversial, namun hal itu patut kita renungkan bahwa kejahatan-kejahatan di negeri ini adalah ulah para intelektual yang dulunya pernah dibina di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang idealnya meciptakan intelektual baru terdistorsi sebagai pencetak intelektual jongos dan koruptor.
Selepas mengenyam pendidikan, kini para intelektual berselingkuh dengan penguasa dan membuat kebijakan-kebijakan yang semakin absent untuk kepentingan rakyat. Di bidang ipoleksosbudhankam, intelektual jongos semakin picik beralibi dan mengamini permainan mark-up anggaran. Hasilnya dana rakyat itu hanya dinikmati oleh segelintir elitis. Pemikiran dan analisis intelektual jongos semakin menjadi corong bagi kebijakan pemerintah yang semakin ompong.  Banyak politisi dan intelektual jongos yang getol menumpuk kekayaan mengakibatkan politik Indonesia kian kacau. Pancasila menjadi simbol dan agama menjadi komoditas yang suatu saat memicu ketegangan antar keyakinan agama. Atas nama kebebasan, intelektual jongos meneriakkan gagasan yang terlalu melangit dan merusak lokal wisdom.
            Intelektual jongos bercengkrama dan menumpang hidup bagai benalu pada demokrasi lokal dan otonomi daerah. Menginduk kepada asing, intelektual jongos menjadi pemulus kapitalisme dalam mengeruk kekayaan negara. Sikap tersebut kemudian berimbas pada meledaknya angka pengangguran di daerah-daerah yang sebenarnya kaya sumber daya alam.
               
Siapa Pahlawan dan Intelektual Sebenarnya?
Menghadirkan kembali sosok Pahalawan dan intelektual adalah jalan panjang bagi Indonesia. Perjuangan itu sama beratnya dengan upaya mengisi kemerdekaan di era globalisasi dan keterbukaan. Pahlawan, (Sanskerta: phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama) adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani, (wikipedia).
Menilik sejarah perjuangan kemerdekaan, Ibu pertiwi pernah melahirkan sosok Agus Salim dan M. Natsir yang dikagumi oleh rakyat Indonesia bahkan hingga hari ini. sebagai seorang pemimpin, Agus Salim adalah sosok yang sederhana. Rumah mengontrak, sepeda tua, dan hidup miskin melekat dalam diri Agus Salim. Hidup bersama rakyat adalah sesutu yang inheren pada ulama internasional tersebut. Demikian dengan M Natsir, ia pernah memakai pakaian bertambalkan aspal dalam sebuah rapat meskipun ia seorang mentri. Kesahajaan dua pejuang itu tidak diragukan lagi oleh rakyat pada saat itu.
Ada dua keagungan yang melekat pada kedua tokoh menyejarah tersebut. Pertama adalah keagungan akhlak dan budi pekerti. Sederhana, merakyat, santun, dan tegas  menjadikan Agus Salim dan M. Natsir dikagumi dan dipercaya rakyat. Kedua adalah kapasitas intelektual mereka. banyak karya dilahirkan dan pemikiran-pemikiran genuine yang banyak membawa kemajuan bagi bangsa. Intelektualitasnya tidak hanya diakui secara nasional tetapi juga dunia internasional. Wajarlah jika kemudian mereka diangkat menjadi menteri pada saat itu. Namun dengan  amanah dipundak tidak dijadikannya untuk memperkaya diri dan kelompok melainkan mereka gunakan sebagai alat agar dapat memberikan banyak kemaslahatan bagi rakyat.
 Pada saat ini, Indonesia memerlukan tokoh-tokoh seperti mereka. Pemimpin saat ini seharusnya tidak hanya memihak kaum elitis tetapi juga kaum alitis. Hal yang terpenting dari sosok Agus Salim dan M. Natsir adalah kesederhanaan, dari sanalah kita percaya bahwa reformasi akan ada tujuan. Jika tidak, jangan salahkan rakyat apabila absent dalam pemilihan umum, demokrasi lokal dan agenda-agenda pemerintahan lainnya. Agus Salim dan M. Natsir bukanlah tipikal intelektual jongos. Kerusakan yang ditimbulkan intelektual jongos membuat reformasi anti klimaks. Sudah saatnya bangsa ini menata moral kembali menolak intelektual jongos agar tidak menjadi candu bagi kerusakan.

1 komentar:

Estro mengatakan...

keren nih, dari dulu mau nulis ttg ini tp gak pernah sempet. eh untung ada mas Agus yg bikin masterpiece ny

Posting Komentar

monggo dikoment...