Oleh : Agus Purnomo
Mahasiswa Hukum Perdata dan Bisnis Islam dan Ketua KAMMI UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Perjuangan berdarah-darah merebut kemerdekaan telah usai
dengan dibacakannya proklmasi kemerdekaan. Kini tidak terdengar lagi pekikan
kata merdeka dalam konteks perlawanan melawan imperealisme barat di Indonesia
pada kurun waktu 66 tahun terakhir. Dahulu, pejuang-pejuang nusantara melakukan
perlawanan dengan intelektual, senjata dan tentu saja keberanian. Selain
berjuang di ruang rapat dan meja perundingan, mereka juga berjibaku di dalam
ganasnya hutan dan sengatan raja siang sembari memikul senjata.
Ketika Indonesia menginjakkan kaki pada tahun 1945, tongkat estafet perjuangan
sampai pada garis finisnya yaitu merdeka. Harapan kemerdekaan diupayakan untuk menandai
telah usainya imperealisme di bumi pertiwi, sebuah harapan telah berakhirnya
peperangan fisik melawan penjajah. Dengan kedaulatan berada di tangan, bangsa
Indonesia kini bebas menentukan ke arah kemana negara hendak dibawa. Kebebasan
tesebut tentu saja harus disertai tanggung jawab yakni dengan semangat
mengelola sumber daya yang ada untuk mengisi kemerdekaan, menghadirkan
kesejahteraan dan mengantarkan negara menuju peradaban.
Di
tengah upaya mengisi kemerdekaan, sialnya harapan rakyat pupus di tengah jalan.
Tahun-tahun pasca kemerdekaan nyatanya adalah sebuah proses transformasi
penjajahan model baru. Penjajahan yang lebih kejam dari model penjajahan
sebelumnya. Yakni penjajahan fisik yang beralih menjadi penjajahan ekonomi.
Lebih rumit lagi, pelaku penjajahan adalah bangsa sendiri layaknya musuh dalam
selimut.
Problem Intelektual Jongos
Harus disadari bahwa tantangan mengisi kemerdekaan lebih sulit dari upaya
merebut kemerdekaan. Kita butuh intelektual-intelektual handal untuk
menciptakan ketahanan pangan, membangun ekonomi yang kuat, membuat basis
pertahanan yang kokoh dan kepakaran-kepakaran lain. Hadirnya kaum intelektual adalah
agenda mendesak bangsa. Namun nyatanya intelektual yang diharapkan perannya
pasca kemerdekaan hanya asik di atas menara gading.
Sangat
menarik mengikuti berita terbaru, statement Marzuki Ali, ketua DPR RI yang mengatakan bahwa penyumbang koruptor terbesar adalah UI, ITB dan UGM. Meskipun terdengar
kontroversial, namun hal itu patut kita renungkan bahwa kejahatan-kejahatan di
negeri ini adalah ulah para intelektual yang dulunya pernah dibina di lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan yang idealnya meciptakan intelektual baru
terdistorsi sebagai pencetak intelektual jongos dan koruptor.
Selepas
mengenyam pendidikan, kini para intelektual berselingkuh dengan penguasa dan membuat
kebijakan-kebijakan yang semakin absent untuk kepentingan rakyat. Di bidang ipoleksosbudhankam,
intelektual jongos semakin picik beralibi dan mengamini permainan mark-up
anggaran. Hasilnya dana rakyat itu hanya dinikmati oleh segelintir elitis.
Pemikiran dan analisis intelektual jongos semakin menjadi corong bagi kebijakan
pemerintah yang semakin ompong. Banyak politisi
dan intelektual jongos yang getol menumpuk kekayaan mengakibatkan politik
Indonesia kian kacau. Pancasila menjadi simbol dan agama menjadi komoditas yang
suatu saat memicu ketegangan antar keyakinan agama. Atas nama kebebasan,
intelektual jongos meneriakkan gagasan yang terlalu melangit dan merusak lokal
wisdom.
Intelektual
jongos bercengkrama dan menumpang hidup bagai benalu pada demokrasi lokal dan
otonomi daerah. Menginduk kepada asing, intelektual jongos menjadi pemulus
kapitalisme dalam mengeruk kekayaan negara. Sikap tersebut kemudian berimbas
pada meledaknya angka pengangguran di daerah-daerah yang sebenarnya kaya sumber
daya alam.
Siapa Pahlawan
dan Intelektual Sebenarnya?
Menghadirkan kembali sosok Pahalawan dan intelektual adalah jalan
panjang bagi Indonesia. Perjuangan itu sama beratnya dengan upaya mengisi
kemerdekaan di era globalisasi dan keterbukaan. Pahlawan, (Sanskerta: phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya
menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan
agama) adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam
membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani, (wikipedia).
Menilik sejarah perjuangan
kemerdekaan, Ibu pertiwi pernah melahirkan sosok Agus Salim dan M. Natsir yang
dikagumi oleh rakyat Indonesia bahkan hingga hari ini. sebagai seorang pemimpin,
Agus Salim adalah sosok yang sederhana. Rumah mengontrak, sepeda tua, dan hidup
miskin melekat dalam diri Agus Salim. Hidup bersama rakyat adalah sesutu yang
inheren pada ulama internasional tersebut. Demikian dengan M Natsir, ia pernah
memakai pakaian bertambalkan aspal dalam sebuah rapat meskipun ia seorang
mentri. Kesahajaan dua pejuang itu tidak diragukan lagi oleh rakyat pada saat
itu.
Ada dua keagungan yang melekat pada
kedua tokoh menyejarah tersebut. Pertama adalah keagungan akhlak dan budi
pekerti. Sederhana, merakyat, santun, dan tegas
menjadikan Agus Salim dan M. Natsir dikagumi dan dipercaya rakyat. Kedua
adalah kapasitas intelektual mereka. banyak karya dilahirkan dan pemikiran-pemikiran
genuine yang banyak membawa kemajuan bagi bangsa. Intelektualitasnya tidak
hanya diakui secara nasional tetapi juga dunia internasional. Wajarlah jika
kemudian mereka diangkat menjadi menteri pada saat itu. Namun dengan amanah dipundak tidak dijadikannya untuk
memperkaya diri dan kelompok melainkan mereka gunakan sebagai alat agar dapat
memberikan banyak kemaslahatan bagi rakyat.
Pada saat ini, Indonesia
memerlukan tokoh-tokoh seperti mereka. Pemimpin saat ini seharusnya tidak hanya
memihak kaum elitis tetapi juga kaum alitis. Hal yang terpenting dari sosok
Agus Salim dan M. Natsir adalah kesederhanaan, dari sanalah kita percaya bahwa
reformasi akan ada tujuan. Jika tidak, jangan salahkan rakyat apabila absent
dalam pemilihan umum, demokrasi lokal dan agenda-agenda pemerintahan lainnya.
Agus Salim dan M. Natsir bukanlah tipikal intelektual jongos. Kerusakan yang
ditimbulkan intelektual jongos membuat reformasi anti klimaks. Sudah saatnya
bangsa ini menata moral kembali menolak intelektual jongos agar tidak menjadi
candu bagi kerusakan.
1 komentar:
keren nih, dari dulu mau nulis ttg ini tp gak pernah sempet. eh untung ada mas Agus yg bikin masterpiece ny
Posting Komentar
monggo dikoment...