Waktu
itu, hujan turun deras sejak sore hari. Saya yang sedang menyantap makanan
bersama teman-teman tidak begitu menghiraukan datangnya hujan, bahkan tetap
asik menyantap makanan. Makan bersama merupakan kebiasaan di pondok
kami, Pondok Pesantren Entrepreneur Umar Bin Khattab Indonesia (UBKI), dengan
itu pula ikatan ukhuwah kami terjalin semakin erat hari ke hari.
Di
Ponpes UBKI ini, kami para santri mempunyai latar belakang yang berbeda. Latar
belakang –jama’ah- misalnya. Beberapa dari Nahdiyin, Tarbiyah, dan Hizbut
Tahrir (HT). Namun kami tidak mempermasalahkan hal itu, kami ingin hidup
berdampingan dalam suasana harmonis.
Sampai
menjelang maghrib hujan pun belum reda sementara azan telah berkumandang.
Masing-masing kami mulai mempersiapkan diri untuk memenuhi panggilan suci. Ada
yang menuju masjid dengan menggunakan payung dan mantel dan ada pula yang
memutuskan untuk melaksanakan sholat di pondok, saya salah satunya.
Sebelum
sholat dimulai, saya yang ditunjuk sebagai imam menyampaikan bahwa sholat isya akan
dijama’ bersamaan dengan waktu sholat Maghrib. Selesai melaksanakan
sholat Maghrib, saya mengajak beberapa teman untuk menjama’ sholat Isya dengan
alasan hujan. Namun, ada salah seorang di antara teman kami yang tidak sepakat
akan diperbolehkannya hal itu. karena perbedaan pendapat ini, pada akhirnya
kami memutuskan untuk tidak menjama’ sholat.
Berangkat
dari perbedaan pendapat –dalam hal ini agama- yang mungkin bukan hal yang tabu
dalam agama kita, dapan menyebabkan perbedaan pula dalam pelaksanaannya. Namun,
dalam tulisan ini, saya tidak ingin melakukan studi kebolehan
menjama’ kemudian memaparkannya di akhir tulisan. , saya hanya ingin
mencoba mengambil nilai positif pada sisi yang berbeda.
Pertama,
perbedaan pendapat dapat mendorong kita untuk lebih mendalami ilmu yang sedang
kita perdebatkan. Karena ibadah tanpa ilmu juga bukan hal yang dibenarkan.
Hikmah dari perbedaan pendapat usai sholat Maghrib tadi memacu kita untuk
berfikir lebih objektif. Mencari jawaban yang benar atau setidaknya mengetahui
dalil yang mendasari mengapa kita melakukan suatu ibadah.
Kedua,
perbedaan pendapat juga mendorong kita untuk menghargai pendapat orang lain.
Setelah kita mengetahui dalil yang mendasari kita untuk melakukan ibadah
tersebut, bisa jadi masalah belum selesai. Sangat mungkin kita akan
saling mengunggulkan dalil satu atas dalil yang lain. Saling mengunggulkan
dalil tersebut bisa disebabkan karena ulama tempat kita menyandarkan dalil
ternyata mempunyai perbedaan pendapat. Maka yang perlu dilakukan atas perbedaan
pendapat tersebut adalah saling menghormati. “Aku menjamin sebuah rumah di
teras surga...” Sabda Rasulullah SAW, “bagi yang meninggalkan debat kusir
meskipun dia dalam posisi benar...”
Dan
yang ketiga, tetap menjaga ukhuwah di antara perbedaan yang ada. Karena
perbedaan pendapat pasti dan akan selalu ada, satu-satunya hal yang tetap bisa
menyatukan kita, sesama muslim, adalah ukhuwah. Ukhuwah ini sangatlah penting,
karena tanpanya umat ini akan hilang ditelan arus peradaban dan hantaman musuh
islam.
Luar
biasa. Dengan kepala dingin, dan baik sangka sesama muslim, maka setiap masalah
yang menghampiri kita akan menjadi ladang pembelajaran dan hikmah. Dengan
mengedepankan objektifitas, wawasan kita akan semakin bertambah. Dengan
berkomitmen untuk terus menjaga ukhuwah, maka umat ini akan kembali mengambil
kejayaannya. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar
monggo dikoment...