8 Feb 2013





Waktu itu, hujan turun deras sejak sore hari. Saya yang sedang menyantap makanan bersama teman-teman tidak begitu menghiraukan datangnya hujan, bahkan tetap asik menyantap makanan.  Makan bersama merupakan kebiasaan di pondok kami, Pondok Pesantren Entrepreneur Umar Bin Khattab Indonesia (UBKI), dengan itu pula ikatan ukhuwah kami terjalin semakin erat hari ke hari.
Di Ponpes UBKI ini, kami para santri mempunyai latar belakang yang berbeda. Latar belakang –jama’ah- misalnya. Beberapa dari Nahdiyin, Tarbiyah, dan Hizbut Tahrir (HT). Namun kami tidak mempermasalahkan hal itu, kami ingin hidup berdampingan dalam suasana harmonis.
Sampai menjelang maghrib hujan pun belum reda sementara azan telah berkumandang. Masing-masing kami mulai mempersiapkan diri untuk memenuhi panggilan suci. Ada yang menuju masjid dengan menggunakan payung dan mantel dan ada pula yang memutuskan untuk melaksanakan sholat di pondok, saya salah satunya.
Sebelum sholat dimulai, saya yang ditunjuk sebagai imam menyampaikan bahwa sholat isya akan dijama’  bersamaan dengan waktu sholat Maghrib. Selesai melaksanakan sholat Maghrib, saya mengajak beberapa teman untuk menjama’ sholat Isya dengan alasan hujan. Namun, ada salah seorang di antara teman kami yang tidak sepakat akan diperbolehkannya hal itu. karena perbedaan pendapat ini, pada akhirnya kami memutuskan untuk tidak menjama’ sholat.
Berangkat dari perbedaan pendapat –dalam hal ini agama- yang mungkin bukan hal yang tabu dalam agama kita, dapan menyebabkan perbedaan pula dalam pelaksanaannya. Namun, dalam tulisan ini, saya tidak ingin melakukan studi kebolehan menjama’  kemudian memaparkannya di akhir tulisan. , saya hanya ingin mencoba mengambil nilai positif pada sisi yang berbeda.
Pertama, perbedaan pendapat dapat mendorong kita untuk lebih mendalami ilmu yang sedang kita perdebatkan. Karena ibadah tanpa ilmu juga bukan hal yang dibenarkan. Hikmah dari perbedaan pendapat usai sholat Maghrib tadi memacu kita untuk berfikir lebih objektif. Mencari jawaban yang benar atau setidaknya mengetahui dalil yang mendasari mengapa kita melakukan suatu ibadah.
Kedua, perbedaan pendapat juga mendorong kita untuk menghargai pendapat orang lain. Setelah kita mengetahui dalil yang mendasari kita untuk melakukan ibadah tersebut, bisa jadi masalah belum selesai.  Sangat mungkin kita akan saling mengunggulkan dalil satu atas dalil yang lain. Saling mengunggulkan dalil tersebut bisa disebabkan karena ulama tempat kita menyandarkan dalil ternyata mempunyai perbedaan pendapat. Maka yang perlu dilakukan atas perbedaan pendapat tersebut adalah saling menghormati. “Aku menjamin sebuah rumah di teras surga...” Sabda Rasulullah SAW, “bagi yang meninggalkan debat kusir meskipun dia dalam posisi benar...”
Dan yang ketiga, tetap menjaga ukhuwah di antara perbedaan yang ada. Karena perbedaan pendapat pasti dan akan selalu ada, satu-satunya hal yang tetap bisa menyatukan kita, sesama muslim, adalah ukhuwah. Ukhuwah ini sangatlah penting, karena tanpanya umat ini akan hilang ditelan arus peradaban dan hantaman musuh islam.
Luar biasa. Dengan kepala dingin, dan baik sangka sesama muslim, maka setiap masalah yang menghampiri kita akan menjadi ladang pembelajaran dan hikmah. Dengan mengedepankan objektifitas, wawasan kita akan semakin bertambah. Dengan berkomitmen untuk terus menjaga ukhuwah, maka umat ini akan kembali mengambil kejayaannya. Wallahu  a'lam.