27 Mei 2012


aksi masa partai PAS
                Ketika sebuah lembaga, organisasi ataupun partai bertambah usia maka semakin komplek pula permasalahannya. Jika dulunya permalahan hanya pada di internal maka  sebuah organisasi yang sehat akan tumbuh besar dan mendapat tantangan yang lebih besar pula. Ia tidak hanya berkutat pada kondisi internal dan problematika yang ada di dalamnya, tetapi juga permasalahan eksternal yang lebih kompleks  dalam menapaki ruang realitas.
                Begitu juga Partai PAS UIN Jogja. Selama bertahun-tahun tumbuh dan berkembang di kampus ia akan terus menghadapi problematika baik secara internal dan ekternal. Jika kondisi internal bugar maka dorongan untuk menyelsaikan peroblematika kampus akan lebih besar. berbeda jika internal terus sakit-sakitan maka ia akan disibukkan dengan perbaikan internal yang melelahkan. Bahkan jika persoalan tersebut tidak bisa diatasi maka akan berujung pada bearkhirnya partai berlambang segi empat tersebut.
                Dalam gerak ekternal PAS yang bertekad memperbaiki birokrasi dan kultur civitas akademika UIN akan mendapat tantangan yang besar. Sikap apolitis mahasiswa dan biasnya perjalanan demokrasi subtansial menjadi catatan tersendiri bagi partai yang hendak membawa perubahan tersebut.
Dakwah Dan Dukungan Fanatisme
Dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun berpendapat dakwah keagamanan tanpa dukungan fanatsime tidak akan eksis. Ia menceritakan banyak kekalahan dan kebinasaan sebuah perjuangan karena mereka tidak mempunyai jaringan dan basis masa yang kuat. Hal tersebut kenjadi keniscayaan mengingat problematika yang besar tidak dapat diselesaikan jika hanya dihadapi secara sendirian ataupun satu golongan saja.
Perubahan besar memang membutuhkan dukungan dari kerabat keluarga, suku dan pertalian fanatisme lain. Seperti halnya para nabi SAW dalam perjuangan di medan dakwah yang juga didukung oleh keluarga besar dan fanatisme yang beragam. Bapak sosiologi dunia tersebut kemudian menyimpulkan, meskipun seseorang dalam kebenaran namun mengabaikan sisi-sisi fanatisme, maka ia telah menjatuhkan diri dalam kegagalan dan kebinasaan.  
PAS dan Entitas Kampus
militansi kader muslimah PAS
Sebenarnya apa yang disampaikan Ibnu Khaldun adalah pesan kepada orang-orang baik agar dapat bergaul dengan dunia luar. Membangun komunikasi dan jaringan dengan entitas dan kuasa-kuasa di luar mereka. Dengan begitu maka akan lahir kekuatan baru yang lebih besar.
Dalam konteks kampus, selain partai PAS, terdapat belasan bahkan puluhan gerakan, organisasi, forum dan paguyuban. Mereka mempunyai corak pemikiran dan afiliasi yang beragam. Jumlah masa mereka pun banyak dan tersebar di seluruh fakultas. Namun sebelumnya partai runner up tersebut harus meyakini bahwa mereka adalah perkumpulan orang baik yang beri’tikad memperbaiki keadaan yang kemudian diejawantahkan dalam kerja-kerja organisasi.
                Partai PAS tidak boleh mengabaikan kondisi tersebut. PAS harus menyadari bahwa ada perkumpulan di luar organisasi mereka yang juga bergerak melakukan perubahan dengan gaya yang beragam. Di sisi lain PAS juga menyadari bahwa ia tidak bisa membangun kampus secara sendirian, karena membangun kampus merupakan pekerjaan besar dan membutuhkan tenaga yang besar pula.
                Kesadaran akan eksistensi PAS dan pesan Ibnu Khaldun kemudian menjadi dasar bagi PAS agar dapat merangkul dan bekerja sama dengan semua entitas di kampus. DI sinilah kemudian muncul pertanyaan besar, bagaimana PAS mampu menyatukan keberagaman dan bergerak bersama membangun kampus?
Seni Berkomunikasi Dan Bekerja Sama
perbedaan itu indah
                Bersatu dan bekerja sama adalah kebutuhan mutlak dalam membawa arus perubahan. PAS yang bertekad memperbaiki keadaan  sudah seharusnya dapat menggandeng gerakan, UKM, paguyuban dan perkumpulan-perkumpulan lain di kampus. Setidaknya ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
                Pertama partai PAS mempunyai narasi dan manifesto tentang peradaban kampus yang dicita-citakan. Sebuah narasi yang dibangun berdasar atas analisis dan kajian ilmiah sehingga dapat dipahami oleh semua orang bukan hanya satu golongan saja. Kemudian dari tingkatan elit sampai grass root kader partai harus memahami dan meyakini cita-cita tersebut. sehingga tema besar organisasi, agenda-agenda bahkan cara berfikir semua konstituen adalah rangkaian kerja menuju pencapaian strategi partai.
                Kedua PAS harus mampu membaca kondisi dan keinginan entitas lain. Di sinilah komunikasi antar kader maupun partai terhadap organisasi lain harus intens dilakukan sehingga mereka bisa saling memahami cara berfikir dan model gerak tiap organisasi. Seringnya berinteraksi tidak hanya akan meminimalisir ketegangan tetapi menumbuhkan kepercayaan dan juga memunculkan terobosan baru.
                Ketiga PAS harus menguasai seni bekerja sama. Perbedaan bentuk dan ideologi sebuah organisasi akan menghasilkan cara kerja yang berbeda pula. Elemen gerakan tentu mempunyai perbedaan gerak dengan Unit Kegiatan mahasiswa, forum akademik, begitu juga dengan paguyuban daerah dan lainnya. Perbedaan tersebut harus mampu dicerna oleh PAS sehingga dapat menyelaraskan gerak partai dengan organisasi lain tanpa mengorbankan identitas masing-masing.
Secara umum seharusnya pemahaman dan strategi itu bukan hanya dipahami oleh PAS saja tetapi juga semua yang ingin memperbaiki citra kampus. Kemudian tidak ada cara lain memperjuangkan cita-cita tersebut selain menempuhnya dengan strategi ilmiah dan amaliah. Dan saya yakin partai PAS dapat melakukannya, menjadi perekat seluruh entitas kemudian saling bahu membahu memperbaiki UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

20 Mei 2012


Oleh : Agus Purnomo
Mahasiswa Hukum Perdata dan Bisnis Islam dan Ketua KAMMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

            Perjuangan berdarah-darah merebut kemerdekaan telah usai dengan dibacakannya proklmasi kemerdekaan. Kini tidak terdengar lagi pekikan kata merdeka dalam konteks perlawanan melawan imperealisme barat di Indonesia pada kurun waktu 66 tahun terakhir. Dahulu, pejuang-pejuang nusantara melakukan perlawanan dengan intelektual, senjata dan tentu saja keberanian. Selain berjuang di ruang rapat dan meja perundingan, mereka juga berjibaku di dalam ganasnya hutan dan sengatan raja siang sembari memikul senjata.
                Ketika Indonesia menginjakkan kaki pada tahun 1945, tongkat estafet perjuangan sampai pada garis finisnya yaitu merdeka. Harapan kemerdekaan diupayakan untuk menandai telah usainya imperealisme di bumi pertiwi, sebuah harapan telah berakhirnya peperangan fisik melawan penjajah. Dengan kedaulatan berada di tangan, bangsa Indonesia kini bebas menentukan ke arah kemana negara hendak dibawa. Kebebasan tesebut tentu saja harus disertai tanggung jawab yakni dengan semangat mengelola sumber daya yang ada untuk mengisi kemerdekaan, menghadirkan kesejahteraan dan mengantarkan negara menuju peradaban.
            Di tengah upaya mengisi kemerdekaan, sialnya harapan rakyat pupus di tengah jalan. Tahun-tahun pasca kemerdekaan nyatanya adalah sebuah proses transformasi penjajahan model baru. Penjajahan yang lebih kejam dari model penjajahan sebelumnya. Yakni penjajahan fisik yang beralih menjadi penjajahan ekonomi. Lebih rumit lagi, pelaku penjajahan adalah bangsa sendiri layaknya musuh dalam selimut. 

Problem Intelektual Jongos
                Harus disadari bahwa tantangan mengisi kemerdekaan lebih sulit dari upaya merebut kemerdekaan.  Kita butuh intelektual-intelektual handal untuk menciptakan ketahanan pangan, membangun ekonomi yang kuat, membuat basis pertahanan yang kokoh dan kepakaran-kepakaran lain. Hadirnya kaum intelektual adalah agenda mendesak bangsa. Namun nyatanya intelektual yang diharapkan perannya pasca kemerdekaan hanya asik di atas menara gading.
Sangat menarik mengikuti berita terbaru, statement Marzuki Ali, ketua DPR RI yang mengatakan bahwa penyumbang koruptor terbesar adalah UI, ITB dan UGM. Meskipun terdengar kontroversial, namun hal itu patut kita renungkan bahwa kejahatan-kejahatan di negeri ini adalah ulah para intelektual yang dulunya pernah dibina di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang idealnya meciptakan intelektual baru terdistorsi sebagai pencetak intelektual jongos dan koruptor.
Selepas mengenyam pendidikan, kini para intelektual berselingkuh dengan penguasa dan membuat kebijakan-kebijakan yang semakin absent untuk kepentingan rakyat. Di bidang ipoleksosbudhankam, intelektual jongos semakin picik beralibi dan mengamini permainan mark-up anggaran. Hasilnya dana rakyat itu hanya dinikmati oleh segelintir elitis. Pemikiran dan analisis intelektual jongos semakin menjadi corong bagi kebijakan pemerintah yang semakin ompong.  Banyak politisi dan intelektual jongos yang getol menumpuk kekayaan mengakibatkan politik Indonesia kian kacau. Pancasila menjadi simbol dan agama menjadi komoditas yang suatu saat memicu ketegangan antar keyakinan agama. Atas nama kebebasan, intelektual jongos meneriakkan gagasan yang terlalu melangit dan merusak lokal wisdom.
            Intelektual jongos bercengkrama dan menumpang hidup bagai benalu pada demokrasi lokal dan otonomi daerah. Menginduk kepada asing, intelektual jongos menjadi pemulus kapitalisme dalam mengeruk kekayaan negara. Sikap tersebut kemudian berimbas pada meledaknya angka pengangguran di daerah-daerah yang sebenarnya kaya sumber daya alam.
               
Siapa Pahlawan dan Intelektual Sebenarnya?
Menghadirkan kembali sosok Pahalawan dan intelektual adalah jalan panjang bagi Indonesia. Perjuangan itu sama beratnya dengan upaya mengisi kemerdekaan di era globalisasi dan keterbukaan. Pahlawan, (Sanskerta: phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama) adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani, (wikipedia).
Menilik sejarah perjuangan kemerdekaan, Ibu pertiwi pernah melahirkan sosok Agus Salim dan M. Natsir yang dikagumi oleh rakyat Indonesia bahkan hingga hari ini. sebagai seorang pemimpin, Agus Salim adalah sosok yang sederhana. Rumah mengontrak, sepeda tua, dan hidup miskin melekat dalam diri Agus Salim. Hidup bersama rakyat adalah sesutu yang inheren pada ulama internasional tersebut. Demikian dengan M Natsir, ia pernah memakai pakaian bertambalkan aspal dalam sebuah rapat meskipun ia seorang mentri. Kesahajaan dua pejuang itu tidak diragukan lagi oleh rakyat pada saat itu.
Ada dua keagungan yang melekat pada kedua tokoh menyejarah tersebut. Pertama adalah keagungan akhlak dan budi pekerti. Sederhana, merakyat, santun, dan tegas  menjadikan Agus Salim dan M. Natsir dikagumi dan dipercaya rakyat. Kedua adalah kapasitas intelektual mereka. banyak karya dilahirkan dan pemikiran-pemikiran genuine yang banyak membawa kemajuan bagi bangsa. Intelektualitasnya tidak hanya diakui secara nasional tetapi juga dunia internasional. Wajarlah jika kemudian mereka diangkat menjadi menteri pada saat itu. Namun dengan  amanah dipundak tidak dijadikannya untuk memperkaya diri dan kelompok melainkan mereka gunakan sebagai alat agar dapat memberikan banyak kemaslahatan bagi rakyat.
 Pada saat ini, Indonesia memerlukan tokoh-tokoh seperti mereka. Pemimpin saat ini seharusnya tidak hanya memihak kaum elitis tetapi juga kaum alitis. Hal yang terpenting dari sosok Agus Salim dan M. Natsir adalah kesederhanaan, dari sanalah kita percaya bahwa reformasi akan ada tujuan. Jika tidak, jangan salahkan rakyat apabila absent dalam pemilihan umum, demokrasi lokal dan agenda-agenda pemerintahan lainnya. Agus Salim dan M. Natsir bukanlah tipikal intelektual jongos. Kerusakan yang ditimbulkan intelektual jongos membuat reformasi anti klimaks. Sudah saatnya bangsa ini menata moral kembali menolak intelektual jongos agar tidak menjadi candu bagi kerusakan.

6 Mei 2012

SALAH RIZKI??

2

Kisah ini saya alami saat masih duduk di bangku aliyah. Sebuah kisah yang menurut saya sarat hikmah  keikhlasan dan baik sangka kepada Allah SWT. Keikhlasan untuk membantu sahabat menjemput rizkinya dan baik sangka kepada Allah yang tidak pernah dzolim.
Ketika masih di bangku sekolah, saya memang dari awal hendak mengfokuskan diri aktif di organisasi ektra kulikuler Rohani Islam (ROHIS) MAN1 Bandar Lampung. Bersama-teman lainnya saya bergabung di Rohis sejak masih di kelas 1 (kelas X). Pada saat itulah saya lebih dikenalkan ilmu dan ruh keislaman oleh kakak-kakak tingkat melalui agenda-agenda organisasi.
Keaktifan saya di Rohis menjadikan saya terpilih menjadi ketua umum Rohis, meskipun pada saat itu pengangkatan berdasarkan penunjukan, bukan suara terbanyak melalui pemilihan. Mejadi ketua memang sulit dan menguras banyak tenaga dan fikiran. Tapi Alhamdulillah itu semua telah menambah kedewasaan dan ruh berislam saya.
Informasi Beasiswa Rohis
                Di tengah kepengurusan, kami mendapat informasi beasiswa dari salah satu lembaga pengelolaan zakat, infak dan sedekah di Lampung yang pada saat itu khusus diperuntukan untuk anggota Rohis. Mengingat saya adalah ketua organisasi keislaman tersebut, maka saya tidak hanya dipinta menginformasikan peluang besasiswa, tetapi juga mengkoordinir kader Rohis yang berminat mengajukan beasiswa.
                Saya masih ingat syarat-syarat memperoleh beasiswa yakni anggota Rohis, memiliki nilai baik dan dari keluarga kurang mampu. Kemudian saya fikir saya cukup memenuhi tiga kriteria tersebut. Saya ketua Rohis, saya punya nilai lapor yang lumayan tinggi dan saya dari keluarga sederhana. kemudian saya pun memutuskan ikut mengajukan beasiswa Rohis tersebut.
                Jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain, bisa dibilang saya lebih berhak mendapat beasiswa terutama pada kriteria pertama dan ketiga: ketua Rohis dan dari keluarga kurang mampu. Saya yakin benar saat itu, saya adalah salah satu dari penerima beasiswa. Setelah beberapa minggu menunggu akhirnya saya dipanggil pihak sekolah prihal nama-nama kader yang mendapat beasiswa. Saya sangat terkejut ketika melihat  daftar nama penerima beasiswa. Saya tidak mendapat beasiswa.
Ujian kesabaran dan keikhlasan
                Saya sempat jengkel karena menganggap keputusan itu tidak adil. Saya gusar berhari-hari dengan ketidak terpilihan itu. saya ketua Rohis, nilai cukup bagus dan dari kalangan tidak mampu tapi mengapa saya tidak mendapat beasiswa?. Berbeda dengan teman-teman lain yang kehidupan kesehariannya lebih baik dari saya namun mendapat beasiswa, jabatan dikepengurusan pun tentu saja sebagai staf saya.
                Kejengkelan saya semakin bertambah ketika saya harus menginformasikan beasiswa “miris” tersebut kepada teman-teman saya,bahkan saya dipinta memastikan kalau teman-teman saya bisa menyelesaikan administrasi (surat-surat) beasiswa. Luar biasa!!.
                Namun kemudian saya berfkir bahwa Allah itu maha adil, tidak akan mengecewakan hamba-hambanya. Tidak akan mengecewakan ketua Rohis. Mungkin keasadaran ini bisa tumbuh subur berkat intensitas mengikuti kajian “lingkaran” bersama kakak alumni Rohis. Tidak apalah tidak mendapat beasiswa, saya tetap mencoba membantu teman-teman yang mendapat beasiswa.
Berita Dari TU
                Alhamdulillah pengurusan beasiswa teman-teman selesai, seiring berjalannya waktu hati pun kian reda dari kedongkolan atas “ketidak adilan” Allah tersebut. Saya kemudian mulai fokus kembali menyelesaikan sisa kepengurusan. Sampai suatu hari ketika saya dipanggil ke ruang Tata Usaha (TU) oleh pak Supri, guru Bimbingan Konseling (BK). Saya berfikir adakah kesalahan yang telah saya lakukan? Hingga harus menuju ruang BK.
                Setelah masuk ruangan pak Supri ternyata beliau ditemani seorang tamu. Ternyata tamu tersebut adalah pengurus lembaga zakat yang memberi beasiswa beberapa waktu lalu. setelah mendapat wejangan dari pak Supri dan bapak berjenggot tersebut. Subhanallah betapa terkejutnya saya karena diberi tahu bahwa saya juga mendapat beasiswa. Hal itu karena ada salah seorang kader Rohis yang kemudian tidak jadi mendapat beasiswa.
                Allah maha adil dan tidak pernah tertukar memberi rizki. Setidaknya itulah mutiara hikmah yang bisa  diambil atas kisah tersebut. biarkan Allah memainkan rencananya, mentarbiyah hambanya agar menjadi insan yang lebih dewasa dan bertakwa. Tugas kita adalah terus bekerja keras dan ikhlas, setelah itu  Allah akan merampungkan perjuangan kita dengan kebaikan melebihi apa yang kita imajinasi.
*maaf jika ternyata ada kesalahan penulisan nama dan waktu cerita :)        

3 Mei 2012


          Dalam pemaparannya Dr. Muhammad Syafi’i Antonio pakar ekonomi Islam menjelaskan      konsep ekonomi Islam tentang need (kebutuhan) dan want (keinginan). Need adalah sebuah istilah ekonomi Islam yang menjelaskan bahwa kebutuhan manusia bersifat terbatas. Seperti kebutuhan kita akan pakaian, makanan, rumah, komunikasi dan lain-lain. sedangkan want adalah keinginan manusia yang bersifat tidak terbatas (unlimited). Semisal,  jika lapar maka kebutuhan kita adalah makanan, dan keinginanlah yang membedakannya apakah ingin makan Nasi, Spageti, Hamburger dan lain sebagainya. Namun keinginan yang sifatnya tidak terbatas itu tentu saja  tetap diatur dalam Islam.
        Berbeda dengan ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan pendiri STEI Tazkiya tersebut, ekonomi konvensional mengenal  kebutuhan manusia bersifat tidak terbatas. Pemahaman ini menjadikan manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kebutuhannya dalam skala besar tanpa batas. Akhirnya tingkat konsumsi terus bertambah seiring dengan keinginan yang tidak diarahkan dengan rambu-rambu yang jelas. Buruknya, keinginan untuk merauk harta telah mengaburkan pemahaman akan jati diri manusia sebagai mahluk sosial. Memudarnya rasa sosial tersebut kemudian memunculkan ketimpangan sosial dalam struktur masyarakat. akibatnya potret si kaya dan si miskin kian kontras disetiap sudut kota.
          Setelah melihat kerusakan yang timbul akibat kesalahan paradigma  kebutuhan manusia maka dalam ekonomi Ilahiyat itu mengajarkan tentang distribusi kekayaan. Setelah kebutuhan manusia (yang sifatnya terbatas) tercukupi. Maka Islam mengajarkan untuk melakukan kegiatan kepedulian (charity) atau kedermawanan (filantropi) yakni dengan sistem ekonomi Islam berupa zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain-lain.
Melalui perangkat-perangkat itu, umat Islam didorong untuk melakuakan pemerataan ekonomi pada masyarakat. Meskipun tetap ada kepemilikan individu sebagai wujud dari hak pribadi (prifat) dan kerja kerasnya. Kepemilikan individu inilah yang meluruskan pandangan sosialisme yang menyamaratakan ekonomi setiap warga meskipun dengan perbedaan kemampuan bekerja.
         Sebenarnya konsep need dan want tetap mengajarkan untuk kaya namun mau berbagi dengan sesama bahkan menganjurkan untuk hidup sederhana sebagai wujud dari dua pemahaman tersebut. Jika melihat jejak rekam Rosulullah SAW. Kita akan mengetahui bahwa ia adalah seorang bisnismen dan  kaya raya, begitu juga dengan Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib, Abdur Rahman Bin Auf dan sahabat-sahabat lain. mereka semua adalah mukmin-mukmin yang mempunyai banyak harta bahkan dalam kepemimpinannya sebagai khalifah.
          Namun dengan kekayaan yang dititipkan Allah tersebut, mereka menjadi lebih gemar bersedekah, menyantuni sanak saudara, membebaskan hamba sahaya dan ringan tangan membiayai kebutuhan-kebutuhan jihad fii sabilillah dengan harta pribadinya. Kemudian mereka lebih memilih hidup sederhana dengan keperluan secukupnya. Bagi para rasul dan sahabat hidup sederhana adalah pilihan dan kemuliaan.
Konsep need yang bersifat terbatas dan want yang bersifat unlimited sesungguhnya adalah metode yang diberikan Allah kepada manusia agar tetap berkeinginan kaya namun rela berbagi dan memilih hidup sederhana. Dengan konsep ekonomi Qurani tersebut maka ke depannya tidak akan terjadi  ketimpangan sosial dan kriminalitas,  akan tetapi terwujud keadilan dan kemakmuran. Wallahualam.